Pengertian
Pokok Hukum Acara
Dalam menjalankan penegakan hukum dengan sebaik-baiknya, peradilan
memerlukan peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana norma-norma hukum yang
ada ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal,
yaitu rangkaian kaidah yang mengatur bagaimana mengajukan suatu perkara ke
peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu
rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan
mempertahankan hukum materiil. Atau bisa disebut bagaimana hukum materil
dijalankan. Dengan kata lain, hukum formil mengatur bagaimana hukum materil
ditegakkan.
Hukum Acara yang disebut juga Hukum Formal, sehingga Hukum Acara Perdata
disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch
Reglement (HIR) yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura atau Buitengewesten
(Rbg) yang berlaku di luar Pulau Jawa dan Madura.
HIR dan RBg ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih
berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 No 44.
Beberapa
Defenisi tentang Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang
menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kepengadilan perkara-perkara keperdataan
dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan
putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan
tersebut; dan cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana
cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno
Mertokusumo)
Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum
acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan (Mis: BW (KUHPerdata), UU Perkawinan dll) dan peraturan
hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan
Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh
alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.
Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan
perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis.
Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).
Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antar
akepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan
kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa,
pembagian waris, dsb)
Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya,
pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran,
perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer),
Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor
Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.
Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku
asas-asas pengadilan sbb:
1. Dilarang bertindak
sebagai hakim sendiri.
2. Hukum
acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3. Kekuasaan
pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
4. Semua
putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum
5. Kecuali
yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan
hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.
Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari
3 kodifikasi hukum, yaitu :
1. Reglemen
Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan
Madura.
2. Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa
dan Madura.
3. Reglemen
Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia
diluar Jawa dan Madura.
Dalam
kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan
RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB,
maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata
(HIR)
ASAS-ASAS
HUKUM ACARA PERDATA
1. Hakim
bersifat menunggu
Dalam
perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya
terletak pada pihak yang berkepentingan.
2. Hakim dilarang menolak perkara
Bila
suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau
kurang jelas.
Bila
hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang
hidup dalam masyarakat atau mencari dalam.
3. Hakim
bersifat aktif
Hakim
membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan.
4. Persidangan
yang terbuka
Asas
ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang
peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah
dan tidak memihak.
5. Kedua
belah pihak harus didengar
Dalam
perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama
serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang,
hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan
untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang
yang dihadiri oleh keduabelah pihak.
6. Putusan harus disertai
alasan
Bila proses pemeriksaan
perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim
harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan
yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya
kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai
nilai obyektif dan mempunyai wibawa
7. Sederhana,
cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah
dipahami dan tidak berbelit-belit.
Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak
memakan biaya yang banyak.
8. Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9. Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak
menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam Undang-Undang
Pokok Kekuasan Kehakiman dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada Mahkamah
Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari
UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN
HUKUM ACARA PIDANA
1. Inisiatif
melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan
acara pidana perkara datang dari negara (Penuntut Umum).
2. Dalam
acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka
hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3. Dalam acara pidana hakim bertindak
memimpin sedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja.
Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata
Sejak Indonesia merdeka Tahun 1945 sampai
saat ini belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang hukum acara perdata yang keberlakuaannya secara nasional sehingga
menyebabkan sumber-sumber hukum acara perdata di Indonesia sampai saat ini
masih berserakan di beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum acara yang
ada hanyalah hukum acara pidana.
Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata yang
berlaku sampai saat ini adalah:
1. HIR
(Het Herziene Indonesisch Reglement) reglement tentang melakukan pekerjaan
kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa
Bumiputra dan bangsa timur di tengah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan
dari Reglement Bumiputra/Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor
44.
2. RBg (reglement tot regeling van het
rechtswezen in de gewesten buiten java en madura) reglement tentang hukum acara
perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura dengan Staatsblad 1927
Nomor 227.
3. Rv (reglement op de rechtsvordering) reglement
tentang hukum acara perdata dengan Staatsblad 1847 Nomor 52 juncto 1849 Nomor
63.
4. RO ( reglement of de rechterlijke
organisatie in het beleid der justitie in Indonesia / reglement tentang
organisasi Kehakiman dengan Staatblad 1847 NOmor 23).
5. Ordonansi dengan Staatblad 1867 Nomor 29
tanggal 14 Maret 1867 tentang kekuatan bukti, surat-surat di bawah Tangan yang
diperbuat oleh orang Bangsa Bumi Putra atau oleh yang disamakan dengan dia.
6. BW (burgerlijk wetboek/Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata/Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) yang dikodifikasi pada tanggal 1
Mei 1848. Di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang berlaku bagi mereka
yang termasuk golongan Eropa, Tiong Hoa, dengan beberapa pengecualiaannya yang
dimuat dalam LN No. 129 Tahun 1917 dan golongan Timur Asing lain dari Tiong Hoa
dan beberapa pengecualiaannya dan penjelasan sabagaimana dimuat dalam LN Nomor.
556 Tahun 1924).
7. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel) buku ke satu LN RI Nomor 276 yang diberlakukan mulai tanggal 17
Juli 1938 dan buku ke dua LN Nomor 49 Tahun 1933.
8. UU No. 20 Tahun 1947 tentang ketentuan Banding
(Peradilan Ulangan) untuk daerah Jawa dan Madura yang di tetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden RI Ir. Soekarno.
9. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan LN No.
1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
10. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT).
11. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. LN No. 157 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2009.
12. UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
LN No. 20 Tahun 1986 tanggal 8 Maret 1986 yang kemudian diubah dengan UU No. 8
Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
LN No 34 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
13. UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung. LN No. 73 Tahun 1985 tanggal 30 Desember 1985 yang dirubah dengan UU No.
5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung. LN No. 9 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004.
14. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Utang. LN No. 131 Tahun 2004 tanggal 18
November 2004.
15. UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
16. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
17. UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. LN No. 77 Tahun 1986 yang di ubah dengan UU No. 9 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
LN No. 35 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
18. UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi. LN No. 98 Tahun 2003 tanggal 13 Agustus 2003.
19. UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
20. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung.
21. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982
Tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang disempurnakan.
22. SEMA Nomor 6 Tahun 1992 Tentang
Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3
Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad) dan
Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan Serta Merta
(uit voerbaar bij voorraad), SEMA Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Bimbingan dan
Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap Hakim / Majelis Hakim dalam Menangani
Perkara.
23. Yurisprudensi.
TUGAS HAKIM DALAM HUKUM ACARA PERDATA
Tugas dan Kewenangan Hakim
dalam Persidangan Menurut sistem HIR dan RBg hakim mempunyai peran aktif
memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang
untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan
(Pasal 119 HIR,143 RBg) dengan maksud agar perkara yang diajukan itu menjadi
jelas duduk persoalannya dan memudahkan hakim memeriksa perkara yang
bersangkutan. Lebih dari itu, hakim berwenang untuk mencatat segala apa yang
dikemukakan oleh pencari keadilan apabila yang bersangkutan itu tidak dapat
menulis (Pasal 120 HIR, 144 RBg). Namun, kewenangan hakim membantu pihak
pencari keadilan tidaklah berarti bahwa hakim itu memihak atau berat sebelah,
melainkan hakim hanya menunjukkan jalan yang patut ditempuh menurut undang-undang,
sehingga orang yang buta hukum dan tidak bisa menulis tidak dirugikan atau
tidak menjadi korban perkosaan hak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Disamping itu, hakim tidak
boleh mengabulkan lebih dari tuntutan pihak-pihak. Namun demikian, tidaklah
berarti bahwa hakim hanya terpaku pada apa yang dikemukakan oleh para pihak,
melainkan wajib menilai sampai dimana kebenaran yang dikemukakan oleh parapihak
tersebut, sehingga keadilan benar-benar dapat dicapai. Hal ini sesuai dengan
prinsip yang dianut dalam HIR dan RBg, dimana tugas hakim adalah menemukan
kebenaran yang sesungguhnya dalam perkara yang ditanganinya. Dalam hukum acara
perdata hakim tidak hanya terikat pada kebenaran formal yang setengah-setangah
atau kebenaran hasil pemutarbalikan fakta dari salah satu pihak, melainkan
kebenaran yang dicapai oleh hakim adalah batas-batas yang ditentukan oleh para
pihak yang berperkara. Jadi, kebenaran yang diperoleh itu tidaklah berdasarkan kualitas
penyelidikan, melainkan luasnya penyelidikan. Luasnya penyelidikan itu terbatas
pada tuntutan yang telah dikemukakan oleh pihak-pihak saja.
Pemeriksaan Perkara Perdata di Muka
Sidang Pengadilan.
Setelah
penggugat memasukkan gugatannya ke pengadilan negeri dan dicatat dalam daftar
perkara perdata oleh panitera serta melunasi biaya perkara, maka penggugat
tinggal menunggu pemberitahuan hari, tanggal dan jam persidangan. Selanjutnya
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan penunjukan kepada hakim
yang akan memeriksa perkara. Setelah hakim menerima surat penetapan penunjukan,
maka hakim yang telah ditunjuk tersebut menentukan hari dan jam persidangan
perkara yang diajukan serta menyuruh memanggil kedua belah pihak agar menghadap
di pengadilan negeri pada hari dan jam persidangan yang telah ditetapkan dengan
membawa para saksi serta bukti-bukti yang diperlukan. Kemudian, juru sita
menyerahkan surat panggilan beserta salinan surat gugatan kepada tergugat dan
penggugat di tempat tinggalnya. Setelah melakukan pemanggilan juru sita harus
menyerahkan risalah (relaas) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa
persidangan tersebut, yang merupakan bukti bahwa tergugat dan penggugat telah
dipanggil. Hal ini sangat penting bagi hakim karena apabila pihak-pihak telah
dipanggil secara patut dan kemudian tanpa alasan yang sah tidak hadir dalam persidangan
yang telah ditentukan, hakim dapat menjatuhkan putusan (karena ketidakhadiran
tergugat ataupun penggugat). Pemeriksaan
perkara dalam persidangan dilakukan oleh suatu tim hakim yang berbentuk
majelis. Sidang majelis hakim yang memeriksa perkara itu dibantu oleh seorang
panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera atau disebut
panitera pengganti. Walaupun telah ditentukan bahwa pemeriksaan perkara
dilakukan oleh tim hakim yang berbentuk majelis, namun bagi perkara-perkara
perdata tertentu, atas izin dari Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dapat
menyimpang ketentuan itu, perkara mana yang dapat diperiksa oleh hakim tunggal,
Ketua Pengadilan Negeri yang akan menentukannya. Tetapi harus diusahakan
sedemikian rupa supaya pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim, karena
bentuk majelis itu merupakan perintah undang-undang yang tidak boleh disimpangi
terus menerus. Setelah ketua menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum,
maka majelis hakim segera memulai pemeriksaan terhadap pihak-pihak. Terlebih
dahulu ketua akan menanyakan identitas para pihak. Kemudian menanyakan kepada
tergugat apakah sudah mengerti mengapa sebabnya ia dipanggil ke muka
persidangan, apakah sudah menerima turunan surat gugatan yang ditujukan kepadanya. Lalu
hakim membacakan isi surat
gugatan penggugat terhadap tergugat dan seterusnya. Selanjutnya, ketua
menjelaskan kepada pihak-pihak tentang persoalan perkara mereka harus terlebih
dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator Perma Nomor: 1
Tahun 2008). Hakim memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak-
pihak untuk mengemukakan segala sesuatu yang dianggap perlu supaya diketahui
oleh hakim. Pihak-pihak memberikan keterangan kepada hakim, mengajukan
saksi-saksi, dan memberikan bukti-bukti lainnya guna meyakinkan hakim. Apabila
pemeriksaan perkara belum dapat diselesaikan, hakim menunda sidang, dan akan
diteruskan dalam sidang berikutnya. Kepada pihak-pihak diumumkan oleh ketua
supaya hadir pada persidangan yang ditentukan berikutnya itu, tanpa ada
panggilan lagi, karena pemberitahuan itu dianggap sebagai panggilan resmi.
Apabila dalam persidangan ternyata penggugat tidak hadir, maka masih diberi
kelonggaran atau kesempatan untuk dipanggil sekali lagi, namun bilamana
ternyata setelah panggilan kedua juga tidak hadir dalam persidangan, sedangkan
pihak tergugat selalu hadir, maka gugatan penggugat akan dinyatakan gugur dan
dihukum untuk membayar biaya perkara. Begitu juga bilamana dalam persidangan
ternyata tergugat tidak hadir dua kali berturut-turut setelah dipanggil dengan
patut dan tidak mewakilkan kepada kuasa hukumnya, maka hakim akan memberikan putusan
verstek (putusan diluar hadirnya tergugat), kecuali jika gugatan yang diajukan
oleh penggugat melawan hak atau tidak beralasan. Dalam putusan verstek jika
gugatan dikabulkan, maka putusannya diberitahukankepada tergugat serta
dijelaskan bahwa tergugat berhak mengajukan perlawanan verzet tehadap putusan
verstek kepada hakim yang memeriksa perkara.Dalam pemeriksaan perkara di muka
sidang Pengadilan Negeri, ketua majelis hakim diberi wewenang menawarkan
perdamaian kepada para pihak yang berperkara. Tawaran perdamaian dapat
diusahakan sepanjang pemeriksaan perkara sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan.
Hal ini sesuai dengan sifat perkara perdata bahwa inisiatif berperkara datang
dari pihak-pihak, karenanya pihak-pihak juga dapat mengakhirinya secara damai
melalui peraturan majelis hakim di muka sidang Pengadilan Negeri. Apabila
mereka berhasil mengadakan perdamaian, maka para pihak harus menuangkan hasil
perdamaian tersebut secara tertulis dalam bentuk perjanjian perdamaian dan
hasil perdamaian tersebut selanjutnya disampaikan kepada hakim pada acara
persidangan berikutnya. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak
itu, maka hakim tinggal menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk), yang isinya
menghukum kedua belah pihak untuk mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat
diantara mereka (Sudikno Mertokusumo, 1988:82-83). Dengan adanya perdamaian
pihak-pihak yang berperkara tersebut maka perkara perdata antara mereka selesai
secara tuntas. Sebab putusan perdamaian yang dibuat oleh hakim karena adanya
perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara tersebut kekuatannya sama dengan
putusan
pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap (Pasal 130 Ayat (2) HIR/Pasal 154 Ayat (2) RBg/ Pasal
185a ayat (1) BW jo. MA tanggal 1-8-1973 Nomor 1038 K/Sip/1972). Dalam hal
upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, maka tahap berikutnya adalah
pengajuan jawaban dari pihak tergugat dan terhadap jawaban tergugat tersebut
selanjutnya hakim memberi kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan replik
dan untuk menanggapi replik penggugat, maka kepada tergugat harus diberikan
pula kesempatan untuk mengajukan tanggapan terhadap replik tersebut dalam
bentuk duplik. Setelah proses jawab menjawab selesai, maka tahap berikutnya adalah
pembuktian, dimana kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan
bukti-buktinya adalah pihak penggugat dan setelah itu kesempatan berikutnya
diberikan kepada tergugat. Dengan
selesainya proses pembuktian, maka seluruh rangkaian
pemeriksaan perkara perdata dianggap
selesai dan sebagai tahap terkhiradalah hakim akan menyusun putusannya dan
untuk itu persidangan ditunda untuk pembacaan putusan tersebut.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA
Sejarah HIR
Istilah HIR (Herziene
Indonesisch Reglement), pada mulanya bernama “Indlandsch Reglement” (disingkat
IR) yang berarti Reglemen Bumiputera. Perancang dari “IR” ini adalah seorang
berkebangsaan Belanda yang bernama Mr. H.L. Wichers, yang pada waktu itu adalah
President dari Hooggerechtschof, yaitu Badan Pengadilan tertinggi di Indonesia
pada zaman kolonial Belanda.
Dengan surat keputusan Gubernur
Jendral Rochussen, tertanggal 5 Desember 1846 No.3, Mr. Wichers tersebut diberi
tugas untuk merancang sebuah peraturan (reglement), tentang “administrasi,
polisi dan proses perdata serta proses pidana” bagi golongan Bumiputera. Dalam
waktu belum genap 1 (satu) tahun, Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana
aturan acara perdata dan acara pidana, yang terdiri atas 432 pasal. Pasal
terakhir yaitu pasal 432, yang sekarang kita kenal sebagai pasal 393 H.I.R.
Pada ayat (1) dimuat ketentuan yang berbunyi: “bahwa dalam hal mengadili
perkara di muka Pengadilan bagi golongan Bumiputera itu, tidak boleh dipakai
bentuk-bentuk acara yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan
dengan Reglemen itu sendiri”. Sedangkan pada ayat (2) dimuat ketentuan yang
berbunyi: “Hanya dalam hal-hal yang tidak diatur, Pengadilan boleh memakai
peraturan-peraturan yang berlaku bagi golongan Eropah, jika peraturan yang
demikian itu dianggap berguna untuk peradilan yang baik”.
Namun ketentuan dalam Ayat (2)
diatas ditolak oleh Gubernur Jenderal Rochussen, yang berpendapat bahwa
Reglemen untuk acara Pengadilan bagi golongan bumiputera itu pada dasarnya
harus lengkap, sehingga kemungkinan untuk memakai peraturan-peraturan yang
berlaku bagi golongan Eropah itu adalah menyimpang dari asas tersebut.
Berhubungan dengan keberatan
yang diajukan oleh Gubernur tersebut maka rancangan pada pasal 432 diubah,
hingga menjadi yang sekarang kita kenal dimuat dalam pasal 393 H.I.R., yang
berbunyi:
- Dalam hal mengadili perkara di muka Pengadilan bagi golongan Bumiputera tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau yang lain daripada apa yang telah ditetapkan dengan Reglemen ini ;
- Namun demikian, Gubernur Jendral berhak, apabila berdasarkan pengalaman ternyata bahwa hal yang demikian itu sangat diperlukan, setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof, untuk Pengadilan-Pengadilan di Jakarta, Semarang dan Surabaya dan lain-lain. Pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya, menetapkan lagi ketentuan-ketentuan lainnya yang lebih mirip dengan ketentuan-ketentuan hukum acara bagi Pengadilan-Pengadilan Eropah.
Praktik beracara menggunakan
“I.R” (sekarang bernama H.I.R) sudah berjalan selama 160 tahun, hukum acara
tertulis ini hanya sebagian saja dari keseluruhan peraturan hukum acara yang
sekarang berlaku di Pengadilan Negeri kita (dulu Landraad), karena sebagian
tidak sedikit telah berupa hukum acara yang telah diciptakan oleh
yurisprudensi, intruksi-intruksi berbagai surat edaran dan peraturan Mahkamah
Agung.
Masukan-masukan untuk mengkaji
hukum acara perdata dalam I.R. (kemudian H.I.R), sebelum Perang Dunia ke-2
telah diuraikan oleh Mr. G. Wijers, kemudian oleh Prof. Mr. B. Ter Haar,
gurubesar pada Rechtshogeschool di Jakarta, dalam karangannnya: “Welke eisen
stelt toepassing van ongeschreven materieel privaatrecht aan organisatie en
procesrecht der Inlandse rechtbanken” dan juga pada zaman kemerdekaan oleh
Soetan Kali Malikoel Adil, Hakim Agung pada Mahkamah Agung, dalam karangannya:
“Beberapa catatan tentang pembaharuan hukum formil kita”.
Dalam Staatsblaad 1941 No. 44 diadakan “pembaharuan”
I.R. menjadi H.I.R. yang ternyata tidak membawa perubahan apapun pada hukum
acara perdata di muka Pengadilan Negeri. Yang dinamakan “pembaharuan”
pada I.R. sebetulnya hanya terjadi pada hukum acara pidana saja, sedangkan dalam hukum acara
perdata tidak terjadi perubahan.
SURAT KUASA
Dalam mengurus proses administrasi atau
mengadakan transaksi yang cukup penting kadang seseorang tidak dapat
menanganinya secara langsung, bisa karena kesibukan atau karena hal lain yang
membuat ia menguasakan urusannya kepada orang lain. Untuk itu diperlukan sebuah
surat kuasa yaitu surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang kepada
orang lain atau dari satu pejabat kepada pejabat lainnya. Pelimpahan
wewenang ini dapat mewakili pihak yang memberi wewenang secara penuh.
Surat kuasa
digolongkan menjadi 2 :
- Surat kuasa formal biasanya menggunakan materai Rp. 6.000,- dilengkapi dengan pemberi kuasa, penerima kuasa serta saksi-saksi untuk memperkuat surat kuasa tersebut. Surat kuasa formal digunakan untuk hal-hal yang bernilai tinggi misalnya surat kuasa atas tanah, surat kuasa suatu usaha dan lain-lain.
- Surat kuasa non-formal tidak perlu menggunakan materai, cukup pemberi dan penerima kuasa saja. Surat kuasa non-formal contohnya mengurus perpanjangan STNK, mengambil uang pensiun, pengambilan barang, surat wasiat dan lain-lain.
Dalam membuat surat
kuasa yang baik dan benar perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Pada bagian atas surat tulislah judul yaitu Surat Kuasa.
- Cantumkan pihak–pihak yang terlibat dalam pengalihan kuasa. Pertama tulis biodata singkat pemberi kuasa kemudian tulis biodata singkat penerima kuasa.
- Tulis Perihal surat kuasa dimaksud misalnya untuk pengambilan gaji atau pensiun, pengambilan cek, pengambilan barang dan lain-lain.
- Penutup surat.
- Tanggal dan tempat pembuatan surat kuasa.
- Tanda tangan dan nama terang pemberi kuasa dan penerima kuasa.
- Untuk menguatkan surat kuasa dapat dibubuhi materai seperlunya.
Berikut beberapa contoh surat
kuasa yang bisa dijadikan referensi dalam membuat surat kuasa sesuaikebutuhan Anda.
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama
|
:
Etty Kusnaedi, SH, M.Si.
|
Jenis
Kelamin
|
:
Wanita
|
Tempat
Tanggal Lahir
|
:
Kuningan, 7 April 1968
|
Alamat
|
:
Jl. Penjernihan 1 No. 27
Kel. Pejomongan, Kec.Tanah Abang,
Jakarta Pusat
|
No.
KTP
|
:
34.65.03.1006.78910
|
Pekerjaan
|
:
Direktur Utama PT. Agung Gemilang
|
Memberikan kuasa kepada
Nama
|
: Nursakum
|
Alamat
|
: Jl. Administrasi
Negara 1 No. 9
Kel. Petamburan, Kec. Tanah Abang,
Jakarta Pusat.
|
No. KTP
|
:
35.76.02.1007.876543
|
Pekerjaan
|
: Karyawan PT.
Agung Gemilang
|
Untuk
pengambilan
|
: Satu
Buah Buku BPKB Mobil Toyota Alphard
|
Nopol
|
: B
4716 UR
|
Warna
|
:
Hitam Metalik
|
No.
Mesin
|
:
T-AVD-987-ID-9856565
|
No.
Rangka
|
:
MHUTG-9966546-AVD-68992.
|
Atas Nama
|
: Etty Kusnaedi, SH, M.Si.
|
Demikianlah Surat Kuasa ini saya buat untuk
dipergunakan sebagaimana semestinya.
Jakarta, 8 April 2013
Yang Diberi Kuasa Yang Memberikan Kuasa
(Nursakum) (Etty Kusnaedi, SH, M.Si.)
Contoh Surat Kuasa 2
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
|
:
Drs. Azhar Lubis, M.Sc.
|
Tempat/Tgl. Lahir
|
:
Medan, 27 Agustus 1966
|
Pekerjaan
|
:
Pegawai Negeri Sipil
|
Alamat
|
:
Perumahan Reni Jaya Blok H/3 No. 11
Pamulang, Tangerang,
Banten
|
Memberikan
kuasa pengambilan gaji untuk bulan Mei 2013, dikarenakan saya sedang melaksanakan
ibadah umroh. Untuk mengambil gaji tersebut, saya akan memberikan kuasa kepada
:
Nama
|
:
Harry Santosa
|
Tempat/Tgl.
Lahir
|
: Sumedang, 14
April 1979
|
Pekerjaan
|
: Swasta
|
Alamat
|
:
Jl. H. Ung Kemayoran Gempol RT. 1/7
Kel. Kemayoran, Kec. Senen, Jakarta Pusat
|
Demikian Surat Kuasa ini kami buat dengan sebenar-benarnya agar
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 30 April 2013
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa
Materai
Rp. 6.000,-
Rp. 6.000,-
(Harry Santosa )
(Drs. Azhar Lubis, M.Sc.)
SURAT
KUASA DIPERSIDANGAN
1. Definisi Surat Kuasa
Surat Kuasa adalah
surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain. Pelimpahan wewenang dapat
mewakili pihak yang memberi wewenang.
2. Jenis
Surat Kuasa
Pemberian kuasa terbagi atas 2 (dua) jenis, yakni: pemberian kuasa secara
umum dan pemberian kuasa secara khusus (Pasal 1795 KUHPerdata).
Surat Kuasa Umum
Pemberian kuasa yang meliputi pelaksanaan
segala kepentingan dari pemberi kuasa, kecuali perbuatan hukum yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUHPerdata). Kuasa diberikan
seluas-luasnya sehingga nyaris tanpa ada pengecualian, termasuk terhadap hal-hal
yang tidak disebutkan dalam surat kuasa. Contohnya :“Kuasa pengurusan dan
pemeliharaan/perawatan penghunian rumah”.
Surat Kuasa Khusus
Pemberian kuasa yang hanya meliputi
pelaksanaan satu/lebih kepentingan tertentu dari pemberi kuasa. Perbuatan
hukum/kepentingan dimaksud harus disebutkan/dirumuskan secara tegas dan detail/terperinci (Pasal
1975 KUHPerdata). Contohnya :“Kuasa memasang hipotek atau membebankan hak
tanggungan, kuasa untuk melakukan perdamaian, kuasa bagi Advokat untuk mewakili
perkara kliennya di pengadilan”.
3. Isi Surat Kuasa
Isi dari surat kuasa secara umum yaitu berisi tentang pemberian kuasa kepada
seseorang untuk mengurus suatu kepentingan, dan bahasa yang digunakan singkat, lugas, efektif, dan tidak
terbelit-belit. Maka apabila dikategorikan pembedaan antara
isi dari jenis surat kuasa yaitu:
Surat Kuasa Umum
|
Surat Kuasa Khusus
|
Isi :
“Meliputi 1 kepentingan
atau lebih dari pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal yang boleh
dilakukan oleh penerima kuasa”.
|
Isi :
“Meiputi pengurusan
segala kepentingan pemberian kuasa”.
|
Hak dan Kewajiban Para Pihak (Pemberi dan
Penerima Kuasa)
KUHPerdata tidak
memerinci hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa,
hanya mengenai kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa (Pasal
1800-1803, Pasal 1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata). Namun demikian, dari
ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban tersebut, mengandung pemahaman
sebaliknya mengenai hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa. Khusus untuk hak penerima kuasa sebagai berikut:
1. Penerima kuasa berhak untuk
memperhitungkan/memperoleh upah meskipun hakekat pemberian kuasa terjadi secara
cuma-cuma/gratis (Pasal 1794 KUHPerdata). Jika diperjanjikan, besarnya upah
sesuai dengan yang disebutkan dalam perjanjian antara pemberi kuasa dan
penerima kuasa. Sebaliknya, jika tidak diperjanjikan, maka berlaku Pasal 411
KUHPerdata, yang berbunyi “Semua wali,
kecuali bapak atau ibu dan kawan wali, diperbolehkan memperhitungkan sebagai
upah tiga perseratus dari segala pendapatan, dan dua perseratus dari segala pengeluaran
dan satu setengah perseratus dari jumlah-jumlah uang modal yang mereka terima,
kecuali mereka lebih suka menerim upah yang kiranya disajikan bagi mereka
dengan surat wasiat, atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355
KUHPerdata; dalam hal demikian mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang
lebih”.
2.
Penerima kuasa berhak untuk menahan
kepunyaan pemberi kuasa yang berada ditangannya hingga kepadanya dibayar lunas
segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa (Pasal 1812
KUHPerdata). Hak ini disebut dengan hak retensi.
Adapun kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa berdasarkan Pasal 1800-1803, Pasal 1805 dan
Pasal 1807-1811 KUHPerdata, sebagai berikut:
1.
Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab
atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya
kuasa serta wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada
waktu pemberi kuasa meninggal dunia dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak
segera diselesaikannya.
2.
Bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja dan atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam
menjalankan kuasanya.
3.
Memberi laporan kepada penerima kuasa tentang
apa yang telah dilakukan serta memberikan perhitungan tentang segala sesuatu
yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterima itu tidak
harus dibayar kepada penerima kuasa.
4.
Bertanggung jawab atas orang lain yang
ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya bila tidak
diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dan bila kuasa
itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya
ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu.
5.
Membayar bunga atas uang pokok yang
dipakainya untuk keperluannya sendiri, terhitung dari saat ia mulai memakai
uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus diserahkan pada penutupan
perhitungan, terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan kuasa.
Kewajiban
Pemberi Kuasa
1.
Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh
penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikannya kepada penerima kuasa.
Jika sebaliknya (kecuali disetujuinya), maka pemenuhan beserta segala sebab dan
akibat dari perikatan-perikatan tersebut menjadi tanggung jawab penerima kuasa
sepenuhnya.
2.
Mengembalikan persekot dan biaya yang telah
dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula
membayar upahnya bila tentang hal ini telah diadakan perjanjian, sekali pun
penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya, kecuali jika penerima kuasa
melakukan suatu kelalaian.
3.
Memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa
atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya, asal
dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.
4.
Membayar bunga atas persekot yang telah
dikeluarkan oleh penerima kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot
itu.
5.
Bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung
renteng/tanggung menanggung) mengenai segala akibat dari pemberian kuasa
terhadap penerima kuasa yang diangkat oleh beberapa orang pemberi kuasa untuk
menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka selesaikan secara bersama.
Berakhirnya
Surat Kuasa
Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, pemberian kuasa berakhir:
1. Dengan
Penarikan Kembali Kuasa Penerima Kuasa;
Pemberi kuasa bukan hanya dapat menarik kembali
kuasanya bila dikehendakinya, tapi dapat pula memaksa pengembalian kuasa
tersebut jika ada alasan untuk itu. Terhadap pihak ketiga yang telah mengadakan
persetujuan dengan pihak penerima kuasa, penarikan kuasa tidak dapat diajukan
kepadanya jika penarikan kuasa tersebut hanya diberitahukan kepada penerima
kuasa. Pengangkatan penerima kuasa baru untuk menjalankan urusan yang sama
menyebabkan penarikan kembali kuasa atas penerima kuasa sebelumnya terhitung
sejak hari (tanggal) diberitahukannya pengangkatan penerima kuasa baru
tersebut.
2.
Dengan Pemberitahuan Penghentian Kuasanya
Oleh Penerima Kuasa;
Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari
kuasanya dengan memberitahukan penghentian kuasanya kepada pemberi kuasa dan
pemberitahuan tersebut tidak mengesampingkan kerugian bagi pemberi kuasa
kecuali bila pemegang kuasa tidak mampu meneruskan kuasanya tersebut tanpa
mendatangkan kerugian yang berarti.
3.
Dengan Meninggalnya, Pengampuan Atau
Pailitnya, Baik Pemberi Kuasa Maupun Penerima Kuasa;
Setiap perbuatan yang dilakukan pemegang
kuasa karena ketidaktahuannya tentang meninggalnya pemberi kuasa adalah sah dan
segala perikatan yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik,
harus dipenuhi terhadapnya.
4. Dengan Kawinnya Perempuan Yang
Memberikan Atau Menerima Kuasa (sudah
tidak berlaku lagi).
Selain
karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya
pemberikan kuasa dapat pula terjadi karena telah dilaksanakannya kuasa tersebut
dan karena berakhirnya masa berlaku atau jangka waktunya.
Bentuk Kuasa Didepan Pengadilan
Sebelum mengetahui bentuk-bentuk pemberian kuasa, maka terlebih dahulu
perlu diketahui tentang syarat pemberian kuasa. Berdasarkan Pasal 147 ayat (1)
R.Bg., orang yang sah mewakili pihak berperkara di pengadilan hanyalah orang
yang kepadanya diberikan kuasa yang bersifat khusus oleh pemberi kuasa (pihak
materil), baik secara tertulis maupun secara lisan. Dengan demikian pemberian
kuasa yang sah di muka Pengadilan hanya terbatas pada pemberian kuasa yang
bersifat khusus. Yang dimaksud bersifat khusus dalam Pasal tersebut adalah
kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa hanya khusus
dan terbatas terhadap suatu tindakan-tindakan tertentu dalam perkara tertentu.
Dengan demikian maka pemberian kuasa ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut
-
Menyebut dengan jelas identitas Pemberi Kuasa;
-
Menyebut dengan jelas identitas Penerima
Kuasa;
-
Menyebut dengan jelas tindakan-tindakan/
kewenangan-kewenangan yang dikuasakan. Contohnya: Mengajukan
gugatan, mengajukan bantahan, mengajukan replik, mengajukan duplik, mengajukan
alat-alat bukti, membantah alat bukti lawan, mengajukan kesimpulan, dan
sebagainya”.
-
Menyebut dengan jelas jenis dan objek perkara; Contohnya: “Dalam perkara harta
bersama, dalam perkara hutang-piutang, dalam perkara perceraian, dan sebagainya”.
-
Menyebut dengan jelas identitas dan kedudukan
para pihak dalam perkara;
-
Menyebut dengan jelas pengadilan tempat
perkara diajukan. Contohnya: “Untuk berperkara di Pengadilan Agama Kota Malang, untuk berperkara di
Pengadilan Negeri Surabaya, dan
sebagainya”.
Berdasarkan
semua Pasal 147 Ayat (1)
R.Bg., pemberian kuasa secara garis besar dikategorikan dalam beberapa
bentuk sebagai berikut:
A. BENTUK PEMBERIAN KUASA KHUSUS DITINJAU DARI
CARA PEMBERIANNYA.
1. Pemberian
Kuasa secara lisan.
Pemberian
Kuasa secara lisan ini dari segi waktu pemberian kuasa, terdiri dari dua bagian
yaitu:
a.
Pemberian Kuasa
yang dinyatakan di depan Ketua Pengadilan.
Bentuk ini hanya berlaku bagi Penggugat yang
buta huruf, yaitu ketika Penggugat mengajukan gugatan secara lisan di hadapan
Ketua Pengadilan, Penggugat sekaligus menunjuk kuasa untuk mewakilinya. Yaitu
Penggugat menyampaikan kepada Ketua Pengadilan mengenai identitas penerima
kuasa dan menyampaikan kewenangan-kewenangan yang dikuasakan oleh Penggugat
kepada penerima kuasa itu. Selanjutnya peristiwa pemberian kuasa itu, dicatat
oleh Ketua Pengadilan ke dalam gugatan yang yang dibuatnya.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian
kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang
tersebut di muka, karena mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara dan
objek perkara, telah jelas disebutkan dalam gugatan yang disampaikan secara
lisan itu. Terlebih mengenai di Pengadilan mana diajukan, secara nyata
Penggugat telah menghadap secara langsung kepada Ketua Pengadilan di mana
perkara tersebut diajukan.
b.
Pemberian Kuasa
yang dinyatakan di muka persidangan.
Bentuk ini berlaku bagi semua pihak, baik
Penggugat, Tergugat, maupun turut Tergugat, asalkan pemberian kuasa itu
dinyatakan di depan Majelis Hakim dengan kata-kata yang tegas (expressis
verbis) di persidangan. Yaitu
dengan cara menyampaikan kepada Ketua Pengadilan mengenai identitas penerima
kuasa dan menyampaikan kewenangan-kewenangan yang dikuasakannya kepada penerima
kuasa itu. Selanjutnya peristiwa pemberian kuasa itu dicatat dalam BAP.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian
kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang
tersebut di muka, karena dengan cara ini berarti pemberian kuasa dilakukan pada
saat perkara telah didaftarkan/ surat gugatan telah terdaftar, sehingga
mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara, objek perkara, dan di
pengadilan mana perkara diajukan, telah jelas sebagaimana yang dimaksud dalam perkara
yang bersangkutan.
2. Pemberian Kuasa secara Tertulis.
Pemberian Kuasa secara tertulis ini dapat dilakukan
dalam dua bentuk, yaitu:
a. Dengan
surat kuasa khusus.
Syarat-syarat Surat Kuasa Khusus ini telah
dijelaskan dalam beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI. Di antaranya:
(1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 2
Tahun 1959 tanggal 19 Januari 1959
(2) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 5
Tahun 1962 tanggal 30 Juli 1959.
(3) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 1
Tahun 1971 tanggal 23 Januari 1971, dan
(4) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 6
Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.
Berdasarkan Semua Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) RI tersebut di muka, maka Surat Kuasa Khusus pada prinsipnya harus:
- Memuat dan Memenuhi syarat-syarat pemberian
kuasa sebagaimana telah disebutkan di muka.
- Di samping syarat-syarat tersebut, oleh
karena Surat Kuasa Khusus ini berbentuk akta, maka pembuatannya pun harus
memenuhi syarat-syarat suatu akta, yaitu:
(a) Memuat tanggal pembuatan (tanggal pemberian
kuasa), dan
(b) Memuat tandatangan, dalam hal ini tandatangan
pemberi kuasa (tandatangan penerima kuasa bukanlah syarat sahnya surat kuasa,
namun bila tandatangan penerima kuasa dicantumkan, hal itu tidaklah mengurangi
keabsahan surat kuasa tersebut).
Tidak disyaratkannya tandatangan penerima
kuasa ini karena pemberian kuasa ini bukanlah perjanjian timbal balik (wederkerige overeenkomst) melainkan perbuatan hukum sepihak (eenzaidige overeenkomst) sehingga surat kuasa khusus dapat
dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa tanpa persetujuan penerima kuasa.
(lihat Pasal 1814 B.W.).
Di samping itu pula, agar jangan sampai
pemeriksaan perkara berjalan macet karena berhalangannya penerima kuasa, maka
disyaratkan pula agar surat kuasa khusus tersebut :
- Memuat
hak subtitusi
Agar apabila penerima kuasa berhalangan, ia
dapat melimpahkan kuasa itu kepada pihak lain.
c.
Dengan mencantumkan
dalam surat gugatan.
Yaitu dengan cara: kuasa yang akan mewakili
Penggugat dalam proses persidangan, langsung ditunjuk oleh Penggugat dalam
surat gugatan yang dibuatnya. Dengan syarat identitas penerima kuasa dan
kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada penerima kuasa harus jelas
disebutkan dalam surat gugatan itu.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa
sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut
di muka, karena mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara, objek perkara,
dan di pengadilan mana perkara diajukan, telah jelas disebutkan dalam surat
gugatan.
B. BENTUK
PEMBERIAN KUASA DITINJAU DARI STATUS PENERIMA KUASA.
Ditinjau dari penerima kuasa, kuasa dibedakan
dalam dua bagian, yaitu:
1. Kuasa
Advokat.
Syarat Kuasa Advokat adalah Penerima kuasa
harus berprofesi sebagai advokat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota Advokat dan Berita
Acara Sumpah dari KPT.
2. Kuasa Insidentil
Syarat Kuasa Insidentil adalah pemberian
kuasa tersebut telah mendapat
izin dari Ketua Pengadilan dan
Ketua Pengadilan hanya memberi izin hanya jika Penerima Kuasa memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
- Penerima Kuasa tidak berprofesi sebagai
advokat/pengacara.
- Penerima Kuasa adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga sedarah
atau semenda dengan pemberi kuasa sampai derajat ketiga yang dibuktikan dengan
surat keterangan hubungan keluarga yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala Desa. (pengertian ”derajat ketiga” mencakup hubungan garis lurus ke atas, ke
bawah, dan ke samping).
- Tidak menerima imbalan jasa
atau upah.
- Sepanjang tahun berjalan belum pernah
bertindak sebagai kuasa insidentil pada perkara yang lain.
Contoh:
SURAT KUASA KHUSUS
No: 03/SKK/IV/2014
Yang bertanda tangan di bawah ini :
- ----NAMA-----, umur 35 tahun, beragama islam, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Jl. Terusan Pembangunan Nomor 79, RT. 01 RW. 02 Kelurahan Tarogong Kecamatan Tarogong Kidul Kota Garut, sebagai PENGGUGAT I.
- ----NAMA-----, umur 30 tahun, beragama islam, Pekerjaan Guru (PNS), bertempat tinggal di Jl. Pembangunan Nomor 79, RT. 04 RW. I Kelurahan Sukajaya Kecamatan Tarogong Kidul Kota Garut , sebagai PENGGUGAT II.
Bersama ini memberi kuasa dengan hak substitusi kepada dan selanjutnya memilih tempat kediaman hukum pada kantor kuasanya, yang tersebut dibawah ini :
----NAMA-----,
Advokat/Penasehat Hukum berkantor di Perumahan Suci Permai No 79 Kelurahan Kecamatan Karang Pawitan Garut.
—————————–KHUSUS—————————-
Untuk
atas nama Pemberi Kuasa mewakili sebagai PENGGUGAT di Pengadilan Negeri Garut dalam
perkara WANPRESTASI melawan ----NAMA---- yang merupakan perusahaan pengembang
perumahan dan pertokoan berkedudukan di Wisma Tri Jaya ,Jl. Perumahan Suci
Permai No. 9 Garut selaku TERGUGAT
I dkk. Untuk itu penerima kuasa :
1. Di beri hak untuk membuat dan mengajukan
gugatan,mendampingi dan memberikan nasihat hukum dalam arti seluas-luasnya
tanpa sesuatu yg dikecualikan kepada Pemberi kuasa atas di pengadilan Negeri
Garut
2. Membuat
dan menandatangani surat-surat,menghadap sidang pengadilan
3. Mengajukan jawaban dan menolak jawaban lawan
4. Mengajukan bukti serta menolak bukti lawan
5. Mengajukan permohonan dan keberatan
6. Melakukan pembayaran dan menerima pembayaraan
dari tergugat
7. Mengadakan atau menolak perdamaian
8. Memohon putusan dan turunan putusan, memohon berkas
perkara, memohon agar putusan dapat dijalankan lebih dahulu
Dengan kata lain, kuasa ini diberi hak untuk menggunakan
segala upaya hukum,yang diperkenankan oleh Hukum Acara Perdata. menggunakan hak
retensi dan hak subtitusi . Demikian surat
kuasa ini di buat.
Garut 5 Maret 2014
Penerima
Kuasa Pemberi
Kuasa I
(-----------nama-------------)
(--------------nama---------)
Pemberi
Kuasa II
(------------nama------------)
GUGATAN
Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Tuntutan hak adalah tindakan
yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah main hakim sendiri (eigenrichting).
Menurut Darwan Prinst, gugatan adalah suatu permohonan
yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu
tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu
oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.
Ciri-Ciri Gugatan
Perselisihan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung
sengketa
yang terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak
dan bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai tergugat.
Bentuk Gugatan
yang terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak
dan bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai tergugat.
Bentuk Gugatan
- Lisan
(Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg Tentang gugatan lisan
“bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya
dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan”.(Pasal 120
HIR).
Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan
menurut Yurisprudensi MA tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973 orang yang
menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisanRDATA
- Tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg.
Syarat sahnya suatu surat gugatan:
- Syarat Formal meliputi :
Tempat dan tanggal pembuatan surat
gugatan
Materai
Tandatangan
- Syarat substansial
a. Identitas
parapihak meliputi
• Nama Lengkap
• Umur/tempat dan tanggal lahir
• Pekerjaan
• Domisili
b. Posita
Adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan yang
menjadi dasar pengajuan suatu gugatan perdata.Posita ini secara garis besar
terbagi atas 2 bagian yaitu :
(i) Urian
tentang kejadian yang merupakan penjelasan tentang duduknya perkara
(ii) Uraian tentang hukum yang merupakan
penjelasan tentang hubungan hukum sebagai dasar yuridis pengajuan suatu gugatan
perdata.
Singkatnya suatu posita harus menguaraikan objek,
perkara, fakta-faktanya hukum kualifikasi perbuatan tergugat
c. Petitum/tuntutan
Adalah apa yang
diminta oleh penggugat atau yang diharapkan diputuskan oleh hakim;
1. Pendaftaran
surat gugatan
2. Jawaban dari
tergugat
3. Replik Adalah jawaban balasan atas jawaban tergugat
4. Duplik adalah jawaban tergugat atas replik penggugat yang intinya membantah
dalil-dalil penggugat dalam repliknya serta menguatkan kembal dalil-dalil
tergugat dalam jawabannya.
5. Pembuktian.
Alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas:
• Bukti
tulisan
• Bukti
dengan saksi-saksi
• Persangkaan-persangkaa
• Pengakuan
• sumpah
6. Kesimpulan adalah kesimpulan-kesimpulan yang
dibuat masing2 pihak sesudah terjadinya jawab menjawab dan pembuktian
sehinga akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan.
7. Putusan
hakim putusan hakim dapat berupa:
• Menerima
gugatan
• Menolak
gugatan
• Tidak
diterimanya gugatan
Gugatan
Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan
penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2
(dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1.
Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa
serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem
ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses
pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
-
Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan,
sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya
keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian
dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan
dalam satu berita acara yang sama.
-
Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara
bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika.
- Penempatan
uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi,
petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum
gugatan konvensi).
- Kemudian,
uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi
gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai
bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
- Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara
kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak
dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan
yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan
pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi
dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat
3 HIR;
Pasal 132a ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”), mengatur bahwa
tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi dalam setiap perkara. Akan tetapi, ternyata pasal tersebut mencantumkan pengecualian, berupa
larangan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan konvensi dalam perkara
tertentu. Larangan pengajuan gugatan rekonvensi yaitu:
1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak
berdasarkan status kualitas.
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1)
ke 1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri
pribadi penggugat, sedangkan dia tengah bertindak sebagai penggugat mewakili
kepentingan pemberi kuasa (principal).
Contohnya A bertindak sebagai kuasa B mengajukan gugatan kepada C tentang
sengketa hak milik tanah. A mempunyai utang kepada C. Dalam peristiwa semacam
ini undang-undang melarang atau tidak membenarkan C mengajukan gugatan
rekonvensi kepada A mengenai utang tersebut. Sengketa ini harus diajukan oleh C
secara tersendiri kepada A melalui prosedur gugatan perdata biasa.
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch
Reglement (“HIR”)
mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan
balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan
rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat
berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pada artikel
sebelumnya telah dibahas mengenai syarat materil gugatan rekonvensi, sehingga
pada artikel ini akan dibahas mengenai syarat formil gugatan rekonvensi.
Supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya
syarat materil, gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi,
namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan
secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang
adanya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara
lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis. Apapun bentuk
pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah
gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan.
Dalam hukum acara perdata gugatan rekonpensi
ini dikenal dengan “gugatan balik”. Gugatan rekonvensi dapat diajukan untuk
mengimbangi gugatan penggugat. Gugatan rekonvensi dapat diperiksa bersama-sama
dengan gugatan konvensi sehingga akan menghemat biaya dan waktu, mempermudah
acara pembuktian, dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama
lain.
Pasal 132 huruf (a) Herziene
Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan
rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan
terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut
diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses
pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pasal 224 Reglement
op de Rechsvordering (“Rv”) juga memberikan
definisi atas gugatan rekonvensi. Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang
diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang
berjalan.
Syarat materil gugatan rekonvensi berkaitan
dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan gugatan
rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat
materil gugatan rekonvensi. Ketentuan Pasal 132 huruf (a) HIR hanya berisi
penegasan bahwa:
Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses
berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Alasan
pencabutan gugatan sangat bervariasi, alasan pencabutan gugatan disebabkan
gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dalil gugatan tidak kuat atau dalil
gugatan bertentangan dengan hukum dan sebagainya.
Herzeine Inlandsch
Reglement (“HIR”) dan Reglement Buiten Govesten (“RBg”)
tidak mengatur ketentuan mengenai pencabutan gugatan. Landasan hukum untuk
pencabutan gugatan diatur dalam ketentuan Pasal 271 dan Pasal 272 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”).
Pasal 271 Rv mengatur bahwa penggugat dapat mencabut perkaranya tanpa
persetujuan tergugat dengan syarat pencabutan tersebut dilakukan sebelum
tergugat menyampaikan jawabannya.
Tata cara pencabutan gugatan berpedoman pada ketentuan
Pasal 272 Rv. Pasal 272 Rv mengatur beberapa hal mengenai pencabutan gugatan;
CONTOH
GUGATAN
Nomor
: 03/SK-J1/2013
Lamp.
: Surat Kuasa
PERIHAL : Surat Gugatan Wanprestasi
Surabaya,
8 Maret 2013
Kepada
Yth,
Ketua
Pengadilan Negeri Malang
di
Malang
Dengan hormat,
Yang
bertanda tangan di bawah ini saya:
Indah Nur Utami, S.H.
,Advokat, berkantor di Jalan Sunan Ampel No.12Surabaya, Telp :
(031)1234567 , berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 3 Maret 2013
,terlampir ,bertindak untuk dan atas nama Tuan Rahmat Sanjaya, bertempat
tinggal di jalan Gubeng Masjid No. 70 Surabaya,dalam hal ini telah memilih
tempat kediaman hukum (domisili) di kantor kuasanya tersebut di atas,hendak
menandatangani dan memajukan surat gugatan ini,selanjutnya akan disebut
Penggugat.
Dengan
ini penggugat hendak mengajukan gugatan terhadap :
Direktur PT. Tri Jaya
Property yang merupakan perusahaan pengembang perumhan dan pertokoan
berkedudukan di Wisma Tri Jaya ,jl. Sedap Malam No. 9-10Malang. selanjutnya akan
disebut Tergugat.
Adapun
mengenai duduk persoalannya adalah sebagai berikut :
Bahwa pada tanggal 12 November 2012 telah dilakukannya perjanjian pembelian
satu unit rumah tipe arjuna beralamat di Batu Raya Regency seharga Rp.800 juta
oleh Penggugat kepada Tergugat . Dimana penggugat telah membayar uang muka
sebesar Rp.160 juta(20% dari harga pembelian) dan
sisanya akan dibayar pada saat penyerahan unit rumah yang dijanjikan oleh PT.
Tri Jaya Property yang akan diserahkan sebelum tanggal 15 februari 2013.
Bahwa dalam perjanjian tersebut,Tergugat telah berjanji untuk menyerahkan satu
unit rumah yang dibeli oleh penggugat selambat-lambatnya tanggal 15 Februari
2013.
Bahwa ternyata sampai batas waktu yang telah ditentukan di atas,Tergugat tidak
melakukan kewajiban hukumnya untuk menyerahkan satu unit rumah kepada
Penggugat.
Bahwa atas kelalaian tergugat tersebut, oleh penggugat telah dilakukan
teguran-teguran secara lisan melalui telepon terhadapnya akan tetapi Tergugat
tidak mengindahkannya dan beralasan akan segera dilakukannya serah terima.
Bahwa atas kelalaian tersebut,penggugat menderita kerugian dan wajar penggugat
meminta pengembalian uang muka secara penuh sebesar Rp. 160 juta dan meminta
pembatalan/penghapusan perjanjian pembelian tersebut karena Tergugat telah
wan-prestasi sesuai dengan pasal 1239 BW.
Bahwa Tergugat menolak untuk membayar pengembalian uang muka secara penuh dan
hanya akan mengembalikan sebesar 50% dan setelah dipotong dengan berbagai
biaya.dengan dalil karena dalam perjanjian tidak diatur masalah pengembalian
uang muka apabila salah satu pihak membatalkan perjanjian tersebut.
Bahwa penggugat mempunyai sangka yang beralasan terhadap ikikad buruk tergugat
untuk mengalihkan,memindahkan atau mengasingkan satu unit rumah tersebut kepada
pihak lain. Rumah tersebut bertipe Arjuna beralamat di Batu Raya Regency. Mohon
terlabih dahulu agar Pengadilan Negeri Malang Berkenan meletakkan sita jaminan
(conservatoir beslag) terhadap rumah tersebut sesuai pasal 227 HIR.
Maka berdasarkan segala apa yang terurai di atas,Penggugat mohon dengan hormat
sudilah kiranya Pengadilan Negeri Malang berkenan memeriksa dan memutuskan :
Primair :
1. Mengabulkan keseluruhan gugatan penggugat
2. Menyatakan sah perjanjian jual beli rumah tersebut
3. Menyatakan tergugat telah ingkar janji ( Wanprestasi )
4.Menyatakan pembatalan Perjanjian pembelian satu Unit rumah karena
tergugat telah wanprestasi dan sesuai Pasal 1240 BW : Dalam rangka berpiutang
berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan
dengan perikatan. Dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk
menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si
berhutang.
5.Menyatakan
tergugat harus mengembalikan Uang muka pembelian satu unit rumah kepada
penggugat secara penuh sebesar Rp. 160 juta.sesuai pasal 1243 BW.
6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut diatas sesuai pasal
227 HIR.
7. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu (uitVoerbaar bij
voerraad) meskipun ada upaya hukum verzet atau banding.
8. Menghukum
tergugat untuk membayar beaya perkara ini.
Apabila
Pengadilan Negeri Malang berpendapat lain :
Subsidair :
Dalam
peradilan yang baik ,mohon keadilan yang seadil adilnya ( ex aequo et bono ).
SITA JAMINAN
PENGERTIAN DAN TUJUAN SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah
Indonesia beslah tetapiistilah bakunya ialah sita
atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:
a. Tindakan
menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan
penjagaan [2] (to take into custody the property of a
defendant).
b. Tindakan paksa
penjagaan (custody) itu
dilakukan secara resmi (official)berdasarkan perintah
pengadilan atau hakim.
c. Barang
yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan,
tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alatpembayaran atas
pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial
verkoop) barang yang
disita tersebut.
d. Penetapan
dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.
Jenis-Jenis Sita Jaminan
Ada banyak jenis sita, namun secara umum dikenal dua jenis:
Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitor.
Kata conservatoir sendiri berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag menyimpan hak seseorang. Maksud sita
jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat
dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.
Perihal sita conservatoir beslag ini diatur dalam pasal 227 (1) HIR,
intisari dari ketentuannya adalah sebagai berikut:
1) Harus ada sangkaaan yang beralasan, bahwa
tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan
menggelapkan atau melarikan barang-barangnya;
2) Barang yang disita itu merupakan barang
kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat;
3) Permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan
Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan;
4) Permohonan harus diajukan dengan surat
tertulis;
5) Sita conservatori dapat dilakukan atau
diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak.
Sehubungan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1)
HIR, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa conservatoir beslag yang diadakan bukan atas
alasan-alasan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud adalah tidak dibenarkan.
b. Sita terhadap harta benda milik penggugat sendiri
Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita
terhadap harta benda penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang
lain (termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin
suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari
pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sita revindicatoir (Pasal 226 HIR / 260
RBg) dan sita marital (Pasal 823-823j Rv).Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk
mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya).
1. Untuk pemohon sita revindicatoir:
a. Pemilik benda bergerak yang barangnya berada
di tangan orang lain;
b. Pemegang hak reklame;
2. Untuk pemohon sita conservatoir adalah
kreditor;
3. Untuk pemohon sita marital adalah istri.
Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for costs)
lebih sering diminta oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain
yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti
biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak
beralasan. Di Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara.
Sesuai
dengan Pasal 226 HIR/260 RBg, untuk mengajukan permohonan sitarevindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan
permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba
untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses
persidangan.
Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR / 261 RBg, elemen dugaan yang
beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut.
Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak akan
diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak
diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan
sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini,
tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut.
Objek permohonan tergantung kepada jenis sita yang
dimintakan, pada sitarevindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda
bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan
terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda
tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali
kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2) HIR
menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara
lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.
Sedangkan pada sita conservatoir,
yang dapat menjadi obyek sita adalah:
1. barang bergerak milik debitur
2. barang
tetap milik debitur, dan
3. barang
bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga).
Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang-barang yang
nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang
menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Penyitaan
juga dilakukan terlebih dulu atas benda-bergerak, dan baru diteruskan ke
benda-benda tidak bergerak, jika menurut perkiraan nilai benda-benda tersebut
tidak akan mencukupi.
RV masih mengenal beberapa sita conservatoir lainnya yaitu:
a. Sita conservatoir terhadap Kreditor
Ada kemungkinannya bahwa Debitor mempunyai
piutang kepada Kreditor. Jadi ada hubungan utang piutang timbal balik antara
Kreditor dan Debitor. Dalam hubungan hutang timbal balik antara Debitor dan
Kreditor ini, dimana Kreditor sekaligus juga Debitor dan Debitor sekaligus juga
Kreditor, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompesasi,
misalnya apabila tuntutan piutang Kreditor sudah dapat ditagih dari Debitor,
sedang piutang Debitor belum dapat ditagih dari Kreditor atau apabila Kreditor
mempunyai tagihan dalam bentuk uang sedangkan Debitor tagihannya berupa barang.
Dalam hal ini maka Kreditor yang mengajukan gugatan dapat mengajukan permohonan
sita conservatoir terhadap dirinya sendiri. Pada
hakikatnya sita conservatoir ini tidak lain adalah sita conservatoir atas barang-barang yang ada di
tangan pihak ketiga, hanya dalam hal ini pihak ketiga itu adalah Kreditor itu
sendiri.
b. Sita gadai
Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanya dapat diajukan berdasarkan
tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata dan dijalankan atas
barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 KUHPerdata.
c. Sita conservatoir atas barang-barang Debitor yang tidak
mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan
penduduk Indonesia
Rasio dari sita conservatoir ini ialah untuk melindungi penduduk
Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena
itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negeri.
d. Sita conservatoir atas pesawat terbang
Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik
Debitor menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang bersifat perorangan, dan
semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan,
sehingga dengan demikian dapat disita. Akan tetapi tentang hal ini ada
pengecualiannya. Ada bagian-bagian dari harta kekayaaan yang tidak dapat disita
dan ada yang dibebaskan dari penyitaan. Yang tidak dapat disita terutama adalah
hak-hak perorangan. Hak untuk mendapat ganti kerugian dalam hubungan
perburuhanpun tidak boleh disita untuk menjalankan putusan hakim.
Pasal
50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi “
Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
a. Uang atau surat
berharga milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun
pada pihak ketiga.
b. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga
kepada Negara/Daerah
c. Barang bergerak milik Negara/Daerah baik yang
berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga
d. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan
lainnya milik Negara/Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan
Macam-Macam Sita Dalam
Hukum Perdata
Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslag)
Revindicatoir
memiliki asal kata Revindiceer yang berarti mendapatkan. Sedangkan Beslag
berarti Penyitaan (belanda). Sehingga Revindicatoir Beslag berarti penyitaan
untuk mendapatkan hak kembali. Ketentuan terkait dengan sita revindikasi ini
terdapat dalam KUHPerdata HIR, RBG, maupun RV.
HIR mengatur
tentang sita revidikasi dalam Pasal 226 yang berbunyi:
1.
Pemilik barang bergerak, boleh meminta dengan surat atau dengan bantuan kepadaketua
pengadilan negeri yang
berkuasa di tempat diam atau
tempat tinggal orang yang memegang barang itu supaya barang itu disita.
2. Barang yang hendak disita itu harus
diterangkan dengan jelas dalam
permintaan itu.
3.
Jika permintaan itu diluluskan, maka penyitaan
akan dilakukan menurut surat perintah ketua. Tentang orang yang harus melakukan
penyitaan itu dan tentang persyaratan yang harus dipenuhi, berlaku juga pasal
197.
4.
Panitera pengadilan harus segera memberitahukan penyitaan itu
kepada orang yang mengajukan permintaan, dan menerangkan kepadanya, bahwa ia
harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan
meneguhkan gugatannya.
5.
Orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil atas
perintah ketua untuk menghadap persidangan itu.
6. Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan
dijalankan dengan cara biasa. (TR. 130 dst., 139 dst., 155 dst., 163 dst., 178
dst.).
7. Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan, lalu diperintahkan
supaya barang yang disita itu diserahkan kepada si penggugat; sedang kalau
gugatan itu ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
Sementara itu, dalam RBG ketentuan tentang
sita revidikasi terdapat dalam Pasal 260 yang berbunyi:
“Seorang pemilik suatu barang bergerak dapat memohon kepada pengadilan negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan orang yang
memegang/menguasai barang itu, dengan cara tertulis atau lisan, agar dilakukan penyitaan atas barang yang dikuasai itu.”
1.
Barang yang harus disita harus diterangkan dengan teliti dalam permohonannya itu.
2.
Jika penyitaan dikabulkan, maka penyitaan
dilakukan dengan perintah tertulis dari ketua, ditetapkan pula siapa yang harus
melakukan penyitaan serta tata cara yang harus diturut dengan mengikuti apa
yang diatur dalam pasal 208-212.
3.
Penyitaan yang telah dilakukan segera
diberitahukan oleh panitera kepada pemohon sita dengan diberitahukan pula,
bahwa ia harus hadir pada hari persidangan yang akan datang agar mengajukan dan
menguatkan tuntutannya.
4.
Orang, yang barangnya disita, diperintahkan
juga untuk hadir pada persidangan itu.
5.
Pada hari yang sudah ditentukan, maka
persidangan dilakukan dengan cara yang biasa dan diputus tentang hal itu.
6. Jika gugatan dikabulkan, maka sitaan dinyatakan sah dan berharga dan
diperintahkan agar barang yang disita diserahkan kepada penggugat, sedangkan
jika gugatan ditolak, maka diperintahkan agar sita diangkat. (Rv. 714 dst.; IR.
226).
Yang harus menjadi perhatian inti dalam kedua pasal dan
ketentuan di atas yakni:
1.
Pemohon sita revindikasi adalah pemilik
barang.
2.
Harus merupakan barang bergerak. Jika dikaitkan dengan Pasal 1977 KUHPerdata yang menganut doktrin bezit geld als volkomen title yang berarti penguasaan atas barang
bergerak dianggap sebagai bukti pemilikan yang sempurna atas barang itu,[2] maka
adanya hak penggugat untuk memohon sita revindikasi dalam hal ini menjadi
sangat penting.
3. Barang yang akan dimohonkan sita revindikasi tersebut harus diterangkan
dengan jelas. Hal ini tentu bertujuan guna memberi
kepastian barang tersebut dan memudahkan dalam proses penyitaan jika
dikabulkan.
RV juga mengatur terkait dengan sita revindikasi ini
dalam Pasal 714 yang menyatakan “(s.d.u. dg. S.
1908-522.) Barangsiapa
mempunyai hak menuntut kembali atau hak reklame atas barang bergerak dapat
menyitanya. (KUHPerd. 509 dst., 574, 582 dst., 1145, 1702, 1741, 1977;
KUHD 230 dst., 240, 555; Rv. 763h dst., 924, 971; IR. 226; RBg. 260.)”
Sementara
itu di dalam KUHPerdata memuat beberapa ketentuan yang terkait dengan tindakan-tindakan
yang dapat di ajukan permohonan sita revindikasi misalnya dalam hal pinjam
barang (lihat Pasal 1751 KUHPerdata), atau berdasarkan hak reklame (Reclamerecht)
seperti yang telah ditegaskan di dalam Pasal 714 RV di atas (lihat Pasal 1145
KUHPerdata).
Sita Jaminan (Conversatoir Beslag)
Terhadap sita jaminan, diatur dalam Pasal 227 HIR, yang
mana bunyi Pasal 227 (1) HIR ialah:
“Jika ada
dugaan yang beralasan, bahwa seorang
debitur, sebelum keputusan
hakim yang mengalahkannya dijatuhkan atau boleh dijalankan, mencari akal untuk menggelapkan
atau melarikan barangnya,
baik yang tak bergerak maupun
yang bergerak; dengan maksud untuk
menjauhkan barang itu dari kreditur atas
surat permintaan orang yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh memberi
perintah, supaya disita barang
itu untuk menjaga hak orang yang memerlukan permintaan itu; kepada si
peminta harus diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan
negeri berikutnya untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya. (Rv. 720 dst.;
IR. 124 dst., 1 163 dst.)”
Dan di dalam RBG diatur pada Pasal 261, yang mana dalam
ayat satu dikatakan:
“Bila ada dugaan
yang berdasar, bahwa seorang debitur yang belum
diputus perkaranya atau yang telah diputus kalah perkaranya tetapi betum dapat
dilaksanakan, berusaha
untuk menggelapkan atau memindahkan barang-barang
bergeraknya atau yang tetap, agar
dapat dihindarkan jatuh ke tangan kreditur, maka atas permintaan pihak yang
berkepentingan, ketua pengadilan negeri atau jika debitur bertempat tinggal
atau berdiam di luar wilayah jaksa di tempat kedudukan pengadilan negeri atau
jika ketua pengadilan negeri tidak ada di tempat tersebut, jaksa di tempat
tinggal atau tempat kediaman debitur dapat memerintahkan penyitaan barang-barang tersebut
agar dapat menjamin hak si pemohon, dan sekaligus memberitahukan padanya
supaya menghadap di pengadilan negeri pada suatu hari yang ditentukan untuk
mengajukan gugatannya serta menguatkannya. (Rv. 720 dst.)”
Beberapa ketentuan terkait dengan unsur-unsur yang perlu
diperhatikan dari kedua pasal di atas ialah:
1.
Adanya dugaan yang beralasan dari pihak
yang memohon sita jaminan tentang adanya kemungkinan debitur mengalihkan atau
menggelapkan hartanya.
2.
Permintaan sita jaminan diajukan terhadap
seorang debitur.
3.
Permohonan sita jaminan diajukan sebelum
dijatuhkannya putusan hakin, atau meskipun putusan hakin sudah ada namun
putusan tersebut belum dapat dilaksanakan maka masih dapat diajukan permohonan
sita jaminan.
4.
Obejek sita jaminan adalah barang-barang bergerak dan tidak
bergerak.
5.
Objek sita jaminan merupakan milik dari
debitur (ini yang menjadi perbedaan mendasar dengan sita revindikasi.
6. Tujuan dari sita jaminan adalah untuk menjamin hak-hak pemohon, jika
nantinya hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan pemohon.
Sederhananya, bahwa jika penggugat membuat gugatan dengan
meminta ganti rugi, uang paksa, atau bentuk kompensasi lainnya, maka untuk
memastikan permintaannya tersebut tidak hanya menang di atas kertas saja
sehingga perlu untuk meminta sita jaminan. Artinya jika permohonan penggugat
dalam gugatan dikabulkan oleh majelis hakim, dan ternyata selama proses
peradilan berlangsung tergugat telah memindahkan atau menggelapkan harta kekayaan
miliknya, maka ketika akan melaksanakan eksekusi putusan, tidak ada lagi yang bisa diambil atau tidak ada lagi yang
dapat digunakan oleh tergugat yang kalah untuk memenuhi isi putusan tersebut.
Sehingga sangat penting untuk meminta adanya Sita Jaminan (Conversatoir
Beslag) dalam mengajukan
gugatan.
Sita Harta Bersama (Marital Beslag)
Sita harta bersama merupakan bentuk sita khusus yang
diterapkan terhadap harta bersama suami-istri, apabila terjadi sengketa
perceraian atau pembagian harta bersama. Aturan
terkait dengan sita harta bersama terdapat dalam KUHPerdata, UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan RV.
KUHPerdata mengatur tentang sita harta bersama dalam
Pasal 190 yang berbunyi “Selama penyidangan, isteri boleh melakukan
tindakan-tindakan, dengan seizin Hakim, untuk menjaga agar barang-barangnya
tidak hilang atau diboroskan si suami.”
UU No. 7 Tahun 1989 mengatur tentang sita harta bersama
dalam Pasal 78 yang menyatakan:
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
a) menentukan nafkah yang ditanggung oleh
suami;
b) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak;
c) menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri”.
PP No. 9 Tahun 1975, mengatur tentang pembagian harta
bersama dalam Pasal 24 (2):
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh
suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak isteri”.
Sita Eksekusi (Executorial Beslag)
Hal
ini terkait dengan proses eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Ketentuan terkait dengan sita eksekusi ini diatur dalam Pasal 197 HIR yang mana
ketentuan dalam ayat satu menyatakan:
“Jika
sudah lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang kalah itu belum
juga memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu, sesudah dipanggil dengan sah,
tidak juga menghadap, maka ketua, karena jabatannya, akan memberi perintah
dengan surat, supaya disita sekian barang bergerak dan jika yang demikian tidak
ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang
kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam
keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu”.
Selain
itu RBG mengatur tentang sita eksekusi dalam Pasal 208 yang menyatakan:
“Bila
setelah lampau tenggang waktu yang telah ditentukan, putusan hakim tidak
dilaksanakan atau pihak yang kalah tidak datang menghadap setelah dipanggil,
maka ketua atau jaksa yang diberi kuasa karena jahatannya mengeluarkan perintah
untuk menyita jumlah barang-barang bergerak dan, jika jumlahnya diperkirakan
tidak akan mencukupi, juga sejumlah barang-barang tetap milik pihak yang kalah
sebanyak diperkirakan akan mencukupi untuk membayar jumlah uang sebagai
pelaksanaan putusan, dengan batasan bahwa di daerah Bengkulu, sumatera Barat
dan Tapanuli, hanya dapat dilakukan penyitaan atas harta (harta pusaka) jika
tidak terdapat cukup kekayaan dari harta pencarian baik yang berupa barang
bergerak maupun barang tetap. (Rv. 444; IR. 1971.)”.
Sita eksekusi ini dapat juga menjadi kelanjutan dari sita
jaminan. Maksudnya ialah, jika telah dinyatakan sita jaminan terhadap
harta tergugat, maka setelah putusan itu berkekuatan hukum tetap otomatis sita
jaminan berubah menjadi sita eksekusi guna melakukan proses eksekusi. Namun
jika tidak dinyatakan sita jaminan sebelumnya, dan telah ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap maka pertama-tama pihak yang kalah akan diminta
untuk melaksanakan isi putusan dengan sukarela, namun jika tidak dilaksanakan dengan
sukarela maka ditetapkanlah sita eksekusi terhadap harta milik pihak yang
kalah, tentunya dengan mengacu kepada ketentuan perundang-undangan dan
peraturan terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar