Rabu, 10 Februari 2016

HUKUM ACARA PERDATA ( GOLOM SILITONGA. SH)


 
Pengertian Pokok Hukum Acara
Dalam menjalankan penegakan hukum dengan sebaik-baiknya, peradilan memerlukan peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana norma-norma hukum yang ada ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang mengatur bagaimana mengajukan suatu perkara ke peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil. Atau bisa disebut bagaimana hukum materil dijalankan. Dengan kata lain, hukum formil mengatur bagaimana hukum materil ditegakkan.
Hukum Acara yang disebut juga Hukum Formal, sehingga Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura atau Buitengewesten (Rbg) yang berlaku di luar Pulau Jawa dan Madura. HIR dan RBg ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 No 44.
Beberapa Defenisi tentang Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kepengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)
Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (Mis: BW (KUHPerdata), UU Perkawinan dll) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.
Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).
Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)
Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.
Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb:
1.  Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2. Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3. Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
4. Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum
5. Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.
Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
1.  Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2.  Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura.
3.  Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.
Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1. Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.
2. Hakim dilarang menolak perkara
     Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
     Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam.
3. Hakim bersifat aktif
     Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
4. Persidangan yang terbuka
     Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak.
5. Kedua belah pihak harus didengar
     Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.
6.  Putusan harus disertai alasan
     Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa
7.  Sederhana, cepat dan biaya ringan
     Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
     Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang banyak.
8.  Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9.  Hak menguji tidak dikenal
     Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasan Kehakiman dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA PIDANA
1.  Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari negara (Penuntut Umum).
2. Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3. Dalam acara pidana hakim bertindak memimpin sedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja.

Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata
Sejak Indonesia merdeka Tahun 1945 sampai saat ini belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang hukum acara perdata yang keberlakuaannya secara nasional sehingga menyebabkan sumber-sumber hukum acara perdata di Indonesia sampai saat ini masih berserakan di beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum acara yang ada hanyalah hukum acara pidana.
Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata yang berlaku sampai saat ini adalah:
1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) reglement tentang melakukan pekerjaan kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa Bumiputra dan bangsa timur di tengah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan dari Reglement Bumiputra/Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor 44.
2.  RBg (reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en madura) reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura dengan Staatsblad 1927 Nomor 227.
3.  Rv (reglement op de rechtsvordering) reglement tentang hukum acara perdata dengan Staatsblad 1847 Nomor 52 juncto 1849 Nomor 63.
4.  RO ( reglement of de rechterlijke organisatie  in het beleid der justitie in Indonesia / reglement tentang organisasi Kehakiman dengan Staatblad 1847 NOmor 23).
5.  Ordonansi dengan Staatblad 1867 Nomor 29 tanggal 14 Maret 1867 tentang kekuatan bukti, surat-surat di bawah Tangan yang diperbuat oleh orang Bangsa Bumi Putra atau oleh yang disamakan dengan dia.
6.  BW (burgerlijk wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) yang dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848. Di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang berlaku bagi mereka yang termasuk golongan Eropa, Tiong Hoa, dengan beberapa pengecualiaannya yang dimuat dalam LN No. 129 Tahun 1917 dan golongan Timur Asing lain dari Tiong Hoa dan beberapa pengecualiaannya dan penjelasan sabagaimana dimuat dalam LN Nomor. 556 Tahun 1924).
7.  Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) buku ke satu LN RI Nomor 276 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Juli 1938 dan buku ke dua LN Nomor 49 Tahun 1933.
8.  UU No. 20 Tahun 1947 tentang ketentuan Banding (Peradilan Ulangan) untuk daerah Jawa dan Madura yang di tetapkan di Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden RI Ir. Soekarno.
9.  UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan LN No. 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
10.     UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT).
11.     UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. LN No. 157 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2009.
12.     UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No. 20 Tahun 1986 tanggal 8 Maret 1986 yang kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No 34 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
13.     UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 73 Tahun 1985 tanggal 30 Desember 1985 yang dirubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 9 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004.
14.     UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan   Kewajiban Utang. LN No. 131 Tahun 2004 tanggal 18 November 2004.
15.     UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
16.     UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
17.     UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 77 Tahun 1986 yang di ubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 35 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
18.     UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. LN No. 98 Tahun 2003 tanggal 13 Agustus 2003.
19.     UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
20.     Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung.
21.     Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982 Tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang disempurnakan.
22.     SEMA Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad) dan Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad), SEMA Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap Hakim / Majelis Hakim dalam Menangani Perkara.
23.     Yurisprudensi.

TUGAS HAKIM DALAM HUKUM ACARA PERDATA
Tugas dan Kewenangan Hakim dalam Persidangan Menurut sistem HIR dan RBg hakim mempunyai peran aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan (Pasal 119 HIR,143 RBg) dengan maksud agar perkara yang diajukan itu menjadi jelas duduk persoalannya dan memudahkan hakim memeriksa perkara yang bersangkutan. Lebih dari itu, hakim berwenang untuk mencatat segala apa yang dikemukakan oleh pencari keadilan apabila yang bersangkutan itu tidak dapat menulis (Pasal 120 HIR, 144 RBg). Namun, kewenangan hakim membantu pihak pencari keadilan tidaklah berarti bahwa hakim itu memihak atau berat sebelah, melainkan hakim hanya menunjukkan jalan yang patut ditempuh menurut undang-undang, sehingga orang yang buta hukum dan tidak bisa menulis tidak dirugikan atau tidak menjadi korban perkosaan hak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Disamping itu, hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari tuntutan pihak-pihak. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa hakim hanya terpaku pada apa yang dikemukakan oleh para pihak, melainkan wajib menilai sampai dimana kebenaran yang dikemukakan oleh parapihak tersebut, sehingga keadilan benar-benar dapat dicapai. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam HIR dan RBg, dimana tugas hakim adalah menemukan kebenaran yang sesungguhnya dalam perkara yang ditanganinya. Dalam hukum acara perdata hakim tidak hanya terikat pada kebenaran formal yang setengah-setangah atau kebenaran hasil pemutarbalikan fakta dari salah satu pihak, melainkan kebenaran yang dicapai oleh hakim adalah batas-batas yang ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi, kebenaran yang diperoleh itu tidaklah berdasarkan kualitas penyelidikan, melainkan luasnya penyelidikan. Luasnya penyelidikan itu terbatas pada tuntutan yang telah dikemukakan oleh pihak-pihak saja.
Pemeriksaan Perkara Perdata di Muka Sidang Pengadilan.
Setelah penggugat memasukkan gugatannya ke pengadilan negeri dan dicatat dalam daftar perkara perdata oleh panitera serta melunasi biaya perkara, maka penggugat tinggal menunggu pemberitahuan hari, tanggal dan jam persidangan. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan penunjukan kepada hakim yang akan memeriksa perkara. Setelah hakim menerima surat penetapan penunjukan, maka hakim yang telah ditunjuk tersebut menentukan hari dan jam persidangan perkara yang diajukan serta menyuruh memanggil kedua belah pihak agar menghadap di pengadilan negeri pada hari dan jam persidangan yang telah ditetapkan dengan membawa para saksi serta bukti-bukti yang diperlukan. Kemudian, juru sita menyerahkan surat panggilan beserta salinan surat gugatan kepada tergugat dan penggugat di tempat tinggalnya. Setelah melakukan pemanggilan juru sita harus menyerahkan risalah (relaas) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa persidangan tersebut, yang merupakan bukti bahwa tergugat dan penggugat telah dipanggil. Hal ini sangat penting bagi hakim karena apabila pihak-pihak telah dipanggil secara patut dan kemudian tanpa alasan yang sah tidak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan, hakim dapat menjatuhkan putusan (karena ketidakhadiran tergugat ataupun penggugat). Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan oleh suatu tim hakim yang berbentuk majelis. Sidang majelis hakim yang memeriksa perkara itu dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera atau disebut panitera pengganti. Walaupun telah ditentukan bahwa pemeriksaan perkara dilakukan oleh tim hakim yang berbentuk majelis, namun bagi perkara-perkara perdata tertentu, atas izin dari Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dapat menyimpang ketentuan itu, perkara mana yang dapat diperiksa oleh hakim tunggal, Ketua Pengadilan Negeri yang akan menentukannya. Tetapi harus diusahakan sedemikian rupa supaya pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim, karena bentuk majelis itu merupakan perintah undang-undang yang tidak boleh disimpangi terus menerus. Setelah ketua menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum, maka majelis hakim segera memulai pemeriksaan terhadap pihak-pihak. Terlebih dahulu ketua akan menanyakan identitas para pihak. Kemudian menanyakan kepada tergugat apakah sudah mengerti mengapa sebabnya ia dipanggil ke muka persidangan, apakah sudah menerima turunan surat gugatan yang ditujukan kepadanya. Lalu hakim membacakan isi surat gugatan penggugat terhadap tergugat dan seterusnya. Selanjutnya, ketua menjelaskan kepada pihak-pihak tentang persoalan perkara mereka harus terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator Perma Nomor: 1 Tahun 2008). Hakim memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak- pihak untuk mengemukakan segala sesuatu yang dianggap perlu supaya diketahui oleh hakim. Pihak-pihak memberikan keterangan kepada hakim, mengajukan saksi-saksi, dan memberikan bukti-bukti lainnya guna meyakinkan hakim. Apabila pemeriksaan perkara belum dapat diselesaikan, hakim menunda sidang, dan akan diteruskan dalam sidang berikutnya. Kepada pihak-pihak diumumkan oleh ketua supaya hadir pada persidangan yang ditentukan berikutnya itu, tanpa ada panggilan lagi, karena pemberitahuan itu dianggap sebagai panggilan resmi. Apabila dalam persidangan ternyata penggugat tidak hadir, maka masih diberi kelonggaran atau kesempatan untuk dipanggil sekali lagi, namun bilamana ternyata setelah panggilan kedua juga tidak hadir dalam persidangan, sedangkan pihak tergugat selalu hadir, maka gugatan penggugat akan dinyatakan gugur dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Begitu juga bilamana dalam persidangan ternyata tergugat tidak hadir dua kali berturut-turut setelah dipanggil dengan patut dan tidak mewakilkan kepada kuasa hukumnya, maka hakim akan memberikan putusan verstek (putusan diluar hadirnya tergugat), kecuali jika gugatan yang diajukan oleh penggugat melawan hak atau tidak beralasan. Dalam putusan verstek jika gugatan dikabulkan, maka putusannya diberitahukankepada tergugat serta dijelaskan bahwa tergugat berhak mengajukan perlawanan verzet tehadap putusan verstek kepada hakim yang memeriksa perkara.Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang Pengadilan Negeri, ketua majelis hakim diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang berperkara. Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan perkara sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan. Hal ini sesuai dengan sifat perkara perdata bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak, karenanya pihak-pihak juga dapat mengakhirinya secara damai melalui peraturan majelis hakim di muka sidang Pengadilan Negeri. Apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, maka para pihak harus menuangkan hasil perdamaian tersebut secara tertulis dalam bentuk perjanjian perdamaian dan hasil perdamaian tersebut selanjutnya disampaikan kepada hakim pada acara persidangan berikutnya. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak itu, maka hakim tinggal menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat diantara mereka (Sudikno Mertokusumo, 1988:82-83). Dengan adanya perdamaian pihak-pihak yang berperkara tersebut maka perkara perdata antara mereka selesai secara tuntas. Sebab putusan perdamaian yang dibuat oleh hakim karena adanya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara tersebut kekuatannya sama dengan putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 130 Ayat (2) HIR/Pasal 154 Ayat (2) RBg/ Pasal 185a ayat (1) BW jo. MA tanggal 1-8-1973 Nomor 1038 K/Sip/1972). Dalam hal upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, maka tahap berikutnya adalah pengajuan jawaban dari pihak tergugat dan terhadap jawaban tergugat tersebut selanjutnya hakim memberi kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan replik dan untuk menanggapi replik penggugat, maka kepada tergugat harus diberikan pula kesempatan untuk mengajukan tanggapan terhadap replik tersebut dalam bentuk duplik. Setelah proses jawab menjawab selesai, maka tahap berikutnya adalah pembuktian, dimana kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-buktinya adalah pihak penggugat dan setelah itu kesempatan berikutnya diberikan kepada tergugat. Dengan selesainya proses pembuktian, maka seluruh rangkaian
pemeriksaan perkara perdata dianggap selesai dan sebagai tahap terkhiradalah hakim akan menyusun putusannya dan untuk itu persidangan ditunda untuk pembacaan putusan tersebut.

SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA

Sejarah HIR
Istilah HIR (Herziene Indonesisch Reglement), pada mulanya bernama “Indlandsch Reglement” (disingkat IR) yang berarti Reglemen Bumiputera. Perancang dari “IR” ini adalah seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Mr. H.L. Wichers, yang pada waktu itu adalah President dari Hooggerechtschof, yaitu Badan Pengadilan tertinggi di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
Dengan surat keputusan Gubernur Jendral Rochussen, tertanggal 5 Desember 1846 No.3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah peraturan (reglement), tentang “administrasi, polisi dan proses perdata serta proses pidana” bagi golongan Bumiputera. Dalam waktu belum genap 1 (satu) tahun, Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana aturan acara perdata dan acara pidana, yang terdiri atas 432 pasal. Pasal terakhir yaitu pasal 432, yang sekarang kita kenal sebagai pasal 393 H.I.R. Pada ayat (1) dimuat ketentuan yang berbunyi: “bahwa dalam hal mengadili perkara di muka Pengadilan bagi golongan Bumiputera itu, tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan dengan Reglemen itu sendiri”. Sedangkan pada ayat (2) dimuat ketentuan yang berbunyi: “Hanya dalam hal-hal yang tidak diatur, Pengadilan boleh memakai peraturan-peraturan yang berlaku bagi golongan Eropah, jika peraturan yang demikian itu dianggap berguna untuk peradilan yang baik”.
Namun ketentuan dalam Ayat (2) diatas ditolak oleh Gubernur Jenderal Rochussen, yang berpendapat bahwa Reglemen untuk acara Pengadilan bagi golongan bumiputera itu pada dasarnya harus lengkap, sehingga kemungkinan untuk memakai peraturan-peraturan yang berlaku bagi golongan Eropah itu adalah menyimpang dari asas tersebut.
Berhubungan dengan keberatan yang diajukan oleh Gubernur tersebut maka rancangan pada pasal 432 diubah, hingga menjadi yang sekarang kita kenal dimuat dalam pasal 393 H.I.R., yang berbunyi:
  1. Dalam hal mengadili perkara di muka Pengadilan bagi golongan Bumiputera tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau yang lain daripada apa yang telah ditetapkan dengan Reglemen ini ;
  2. Namun demikian, Gubernur Jendral berhak, apabila berdasarkan pengalaman ternyata bahwa hal yang demikian itu sangat diperlukan, setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof, untuk Pengadilan-Pengadilan di Jakarta, Semarang dan Surabaya dan lain-lain. Pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya, menetapkan lagi ketentuan-ketentuan lainnya yang lebih mirip dengan ketentuan-ketentuan hukum acara bagi Pengadilan-Pengadilan Eropah.
Praktik beracara menggunakan “I.R” (sekarang bernama H.I.R) sudah berjalan selama 160 tahun, hukum acara tertulis ini hanya sebagian saja dari keseluruhan peraturan hukum acara yang sekarang berlaku di Pengadilan Negeri kita (dulu Landraad), karena sebagian tidak sedikit telah berupa hukum acara yang telah diciptakan oleh yurisprudensi, intruksi-intruksi berbagai surat edaran dan peraturan Mahkamah Agung.
Masukan-masukan untuk mengkaji hukum acara perdata dalam I.R. (kemudian H.I.R), sebelum Perang Dunia ke-2 telah diuraikan oleh Mr. G. Wijers, kemudian oleh Prof. Mr. B. Ter Haar, gurubesar pada Rechtshogeschool di Jakarta, dalam karangannnya: “Welke eisen stelt toepassing van ongeschreven materieel privaatrecht aan organisatie en procesrecht der Inlandse rechtbanken” dan juga pada zaman kemerdekaan oleh Soetan Kali Malikoel Adil, Hakim Agung pada Mahkamah Agung, dalam karangannya: “Beberapa catatan tentang pembaharuan hukum formil kita”.
Dalam Staatsblaad 1941 No. 44 diadakan “pembaharuan” I.R. menjadi H.I.R. yang ternyata tidak membawa perubahan apapun pada hukum acara perdata di muka Pengadilan Negeri. Yang dinamakan  “pembaharuan” pada I.R. sebetulnya hanya terjadi pada hukum acara pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak terjadi perubahan.

SURAT KUASA
Dalam mengurus proses administrasi atau mengadakan transaksi yang cukup penting kadang seseorang tidak dapat menanganinya secara langsung, bisa karena kesibukan atau karena hal lain yang membuat ia menguasakan urusannya kepada orang lain. Untuk itu diperlukan sebuah surat kuasa yaitu surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang kepada orang lain atau dari satu pejabat kepada pejabat lainnya. Pelimpahan wewenang ini dapat mewakili pihak yang memberi wewenang secara penuh.
Surat kuasa digolongkan menjadi 2 :
  1. Surat kuasa formal biasanya menggunakan materai Rp. 6.000,- dilengkapi dengan pemberi kuasa, penerima kuasa serta saksi-saksi untuk memperkuat surat kuasa tersebut. Surat kuasa formal digunakan untuk hal-hal yang bernilai tinggi misalnya surat kuasa atas tanah, surat kuasa suatu usaha dan lain-lain.
  2. Surat kuasa non-formal tidak perlu menggunakan materai, cukup pemberi dan penerima kuasa saja.  Surat kuasa non-formal contohnya mengurus perpanjangan STNK, mengambil uang pensiun, pengambilan barang, surat wasiat dan lain-lain.
Dalam membuat surat kuasa yang baik dan benar perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pada bagian atas surat tulislah judul yaitu Surat Kuasa.
  2. Cantumkan pihak–pihak yang terlibat dalam pengalihan kuasa. Pertama tulis biodata singkat pemberi kuasa kemudian tulis biodata singkat penerima kuasa.
  3. Tulis Perihal surat kuasa dimaksud misalnya untuk pengambilan gaji atau pensiun, pengambilan cek, pengambilan barang dan lain-lain.
  4. Penutup surat.
  5. Tanggal dan tempat pembuatan surat kuasa.
  6. Tanda tangan dan nama terang pemberi kuasa dan penerima kuasa.
  7. Untuk menguatkan surat kuasa dapat dibubuhi materai seperlunya.
Berikut beberapa contoh surat kuasa yang bisa dijadikan referensi dalam membuat surat kuasa sesuaikebutuhan Anda.

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama                         
: Etty Kusnaedi, SH, M.Si.
Jenis Kelamin    
: Wanita
Tempat Tanggal Lahir    
: Kuningan, 7 April 1968
Alamat                       
: Jl. Penjernihan 1 No. 27
  Kel. Pejomongan, Kec.Tanah Abang, Jakarta Pusat
No. KTP                          
: 34.65.03.1006.78910
Pekerjaan                       
: Direktur Utama PT. Agung Gemilang

Memberikan kuasa kepada 

Nama          
: Nursakum
Alamat                   
: Jl. Administrasi Negara 1 No. 9
  Kel. Petamburan, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat.
No. KTP
: 35.76.02.1007.876543
Pekerjaan          
: Karyawan PT. Agung Gemilang

Untuk pengambilan
: Satu Buah Buku BPKB Mobil Toyota Alphard
Nopol     
: B 4716 UR
Warna        
: Hitam Metalik 
No. Mesin        
: T-AVD-987-ID-9856565
No. Rangka           
: MHUTG-9966546-AVD-68992. 
Atas Nama          
: Etty Kusnaedi, SH, M.Si.

Demikianlah Surat Kuasa ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana semestinya.

                                                                               Jakarta, 8 April 2013

Yang Diberi Kuasa                                              Yang Memberikan Kuasa



(Nursakum)                                                        (Etty Kusnaedi, SH, M.Si.)



Contoh Surat Kuasa 2

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama                       
: Drs. Azhar Lubis, M.Sc.
Tempat/Tgl. Lahir
: Medan, 27 Agustus 1966
Pekerjaan                
: Pegawai Negeri Sipil
Alamat              
: Perumahan Reni Jaya Blok H/3 No. 11
   Pamulang, Tangerang, Banten

Memberikan kuasa pengambilan gaji untuk bulan Mei 2013, dikarenakan saya sedang melaksanakan ibadah umroh. Untuk mengambil gaji tersebut, saya akan memberikan kuasa kepada :

Nama
: Harry Santosa
Tempat/Tgl. Lahir
: Sumedang, 14 April 1979
Pekerjaan 
: Swasta
Alamat   
: Jl. H. Ung Kemayoran Gempol RT. 1/7
  Kel. Kemayoran, Kec. Senen, Jakarta Pusat

Demikian Surat Kuasa ini kami buat dengan sebenar-benarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
                                                                                 Jakarta, 30 April 2013

Penerima Kuasa                                                    Pemberi Kuasa
                                                                                     Materai
                                                                                     Rp. 6.000,-
 (Harry Santosa )                                                   (Drs. Azhar Lubis, M.Sc.)

SURAT KUASA DIPERSIDANGAN
1.   Definisi Surat Kuasa
Surat Kuasa adalah surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain. Pelimpahan wewenang dapat mewakili pihak yang memberi wewenang.
2.  Jenis Surat Kuasa
Pemberian kuasa terbagi atas 2 (dua) jenis, yakni: pemberian kuasa secara umum dan pemberian kuasa secara khusus (Pasal 1795 KUHPerdata).
Surat Kuasa Umum
Pemberian kuasa yang meliputi pelaksanaan segala kepentingan dari pemberi kuasa, kecuali perbuatan hukum yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUHPerdata). Kuasa diberikan seluas-luasnya sehingga nyaris tanpa ada pengecualian, termasuk terhadap hal-hal yang tidak disebutkan dalam surat kuasa. Contohnya :Kuasa pengurusan dan pemeliharaan/perawatan penghunian rumah.
Surat Kuasa Khusus
Pemberian kuasa yang hanya meliputi pelaksanaan satu/lebih kepentingan tertentu dari pemberi kuasa. Perbuatan hukum/kepentingan dimaksud harus disebutkan/dirumuskan secara tegas dan detail/terperinci (Pasal 1975 KUHPerdata). Contohnya :“Kuasa memasang hipotek atau membebankan hak tanggungan, kuasa untuk melakukan perdamaian, kuasa bagi Advokat untuk mewakili perkara kliennya di pengadilan”.
3.    Isi Surat Kuasa
Isi dari surat kuasa secara umum yaitu berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus suatu kepentingan, dan bahasa yang digunakan singkat, lugas, efektif, dan tidak terbelit-belit. Maka apabila dikategorikan pembedaan antara isi dari jenis surat kuasa yaitu:
Surat Kuasa Umum
Surat Kuasa Khusus
Isi :
“Meliputi 1 kepentingan atau lebih dari pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa”.
Isi :

“Meiputi pengurusan segala kepentingan pemberian kuasa”.
Hak dan Kewajiban Para Pihak (Pemberi dan Penerima Kuasa)
KUHPerdata tidak memerinci hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa, hanya mengenai kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa (Pasal 1800-1803, Pasal 1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata). Namun demikian, dari ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban tersebut, mengandung pemahaman sebaliknya mengenai hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa. Khusus untuk hak penerima kuasa sebagai berikut:
1.    Penerima kuasa berhak untuk memperhitungkan/memperoleh upah meskipun hakekat pemberian kuasa terjadi secara cuma-cuma/gratis (Pasal 1794 KUHPerdata). Jika diperjanjikan, besarnya upah sesuai dengan yang disebutkan dalam perjanjian antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Sebaliknya, jika tidak diperjanjikan, maka berlaku Pasal 411 KUHPerdata, yang berbunyi “Semua wali, kecuali bapak atau ibu dan kawan wali, diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga perseratus dari segala pendapatan, dan dua perseratus dari segala pengeluaran dan satu setengah perseratus dari jumlah-jumlah uang modal yang mereka terima, kecuali mereka lebih suka menerim upah yang kiranya disajikan bagi mereka dengan surat wasiat, atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355 KUHPerdata; dalam hal demikian mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih”.
2.    Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada ditangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa (Pasal 1812 KUHPerdata). Hak ini disebut dengan hak retensi.
Adapun kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa berdasarkan Pasal 1800-1803, Pasal 1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata, sebagai berikut:
1.    Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa serta wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dunia dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.
2.    Bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
3.    Memberi laporan kepada penerima kuasa tentang apa yang telah dilakukan serta memberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada penerima kuasa.
4.    Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dan bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu.
5.    Membayar bunga atas uang pokok yang dipakainya untuk keperluannya sendiri, terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus diserahkan pada penutupan perhitungan, terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan kuasa.

Kewajiban Pemberi Kuasa
1.    Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikannya kepada penerima kuasa. Jika sebaliknya (kecuali disetujuinya), maka pemenuhan beserta segala sebab dan akibat dari perikatan-perikatan tersebut menjadi tanggung jawab penerima kuasa sepenuhnya.
2.    Mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah diadakan perjanjian, sekali pun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya, kecuali jika penerima kuasa melakukan suatu kelalaian.
3.    Memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya, asal dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.
4.    Membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot itu.
5.    Bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung renteng/tanggung menanggung) mengenai segala akibat dari pemberian kuasa terhadap penerima kuasa yang diangkat oleh beberapa orang pemberi kuasa untuk menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka selesaikan secara bersama.

Berakhirnya Surat Kuasa
Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, pemberian kuasa berakhir:
1.    Dengan Penarikan Kembali Kuasa Penerima Kuasa;
Pemberi kuasa bukan hanya dapat menarik kembali kuasanya bila dikehendakinya, tapi dapat pula memaksa pengembalian kuasa tersebut jika ada alasan untuk itu. Terhadap pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa, penarikan kuasa tidak dapat diajukan kepadanya jika penarikan kuasa tersebut hanya diberitahukan kepada penerima kuasa. Pengangkatan penerima kuasa baru untuk menjalankan urusan yang sama menyebabkan penarikan kembali kuasa atas penerima kuasa sebelumnya terhitung sejak hari (tanggal) diberitahukannya pengangkatan penerima kuasa baru tersebut.
2.    Dengan Pemberitahuan Penghentian Kuasanya Oleh Penerima Kuasa;
Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan penghentian kuasanya kepada pemberi kuasa dan pemberitahuan tersebut tidak mengesampingkan kerugian bagi pemberi kuasa kecuali bila pemegang kuasa tidak mampu meneruskan kuasanya tersebut tanpa mendatangkan kerugian yang berarti.
3.    Dengan Meninggalnya, Pengampuan Atau Pailitnya, Baik Pemberi Kuasa Maupun Penerima Kuasa;
Setiap perbuatan yang dilakukan pemegang kuasa karena ketidaktahuannya tentang meninggalnya pemberi kuasa adalah sah dan segala perikatan yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.
4.  Dengan Kawinnya Perempuan Yang Memberikan Atau Menerima Kuasa (sudah tidak berlaku lagi).
Selain karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberikan kuasa dapat pula terjadi karena telah dilaksanakannya kuasa tersebut dan karena berakhirnya masa berlaku atau jangka waktunya.
Bentuk Kuasa Didepan Pengadilan
Sebelum mengetahui bentuk-bentuk pemberian kuasa, maka terlebih dahulu perlu diketahui tentang syarat pemberian kuasa. Berdasarkan Pasal 147 ayat (1) R.Bg., orang yang sah mewakili pihak berperkara di pengadilan hanyalah orang yang kepadanya diberikan kuasa yang bersifat khusus oleh pemberi kuasa (pihak materil), baik secara tertulis maupun secara lisan. Dengan demikian pemberian kuasa yang sah di muka Pengadilan hanya terbatas pada pemberian kuasa yang bersifat khusus. Yang dimaksud bersifat khusus dalam Pasal tersebut adalah kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa hanya khusus dan terbatas terhadap suatu tindakan-tindakan tertentu dalam perkara tertentu. Dengan demikian maka pemberian kuasa ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
-      Menyebut dengan jelas identitas Pemberi Kuasa;
-      Menyebut dengan jelas identitas Penerima Kuasa;
-      Menyebut dengan jelas tindakan-tindakan/ kewenangan-kewenangan yang dikuasakan. ContohnyaMengajukan gugatan, mengajukan bantahan, mengajukan replik, mengajukan duplik, mengajukan alat-alat bukti, membantah alat bukti lawan, mengajukan kesimpulan, dan sebagainya.
-      Menyebut dengan jelas jenis dan objek perkara; ContohnyaDalam perkara harta bersama, dalam perkara hutang-piutang, dalam perkara perceraian, dan sebagainya.
-      Menyebut dengan jelas identitas dan kedudukan para pihak dalam perkara;
-      Menyebut dengan jelas pengadilan tempat perkara diajukan. Contohnya: “Untuk berperkara di Pengadilan Agama Kota Malang, untuk berperkara di Pengadilan Negeri Surabaya, dan sebagainya”.
Berdasarkan semua Pasal 147 Ayat (1) R.Bg., pemberian kuasa secara garis besar dikategorikan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
A. BENTUK PEMBERIAN KUASA KHUSUS DITINJAU DARI CARA PEMBERIANNYA.
1.  Pemberian Kuasa secara lisan.
     Pemberian Kuasa secara lisan ini dari segi waktu pemberian kuasa, terdiri dari dua bagian yaitu:
a.    Pemberian Kuasa yang dinyatakan di depan Ketua Pengadilan.
Bentuk ini hanya berlaku bagi Penggugat yang buta huruf, yaitu ketika Penggugat mengajukan gugatan secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan, Penggugat sekaligus menunjuk kuasa untuk mewakilinya. Yaitu Penggugat menyampaikan kepada Ketua Pengadilan mengenai identitas penerima kuasa dan menyampaikan kewenangan-kewenangan yang dikuasakan oleh Penggugat kepada penerima kuasa itu. Selanjutnya peristiwa pemberian kuasa itu, dicatat oleh Ketua Pengadilan ke dalam gugatan yang yang dibuatnya.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut di muka, karena mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara dan objek perkara, telah jelas disebutkan dalam gugatan yang disampaikan secara lisan itu. Terlebih mengenai di Pengadilan mana diajukan, secara nyata Penggugat telah menghadap secara langsung kepada Ketua Pengadilan di mana perkara tersebut diajukan.
b.    Pemberian Kuasa yang dinyatakan di muka persidangan.
Bentuk ini berlaku bagi semua pihak, baik Penggugat, Tergugat, maupun turut Tergugat, asalkan pemberian kuasa itu dinyatakan di depan Majelis Hakim dengan kata-kata yang tegas (expressis verbis) di persidangan. Yaitu dengan cara menyampaikan kepada Ketua Pengadilan mengenai identitas penerima kuasa dan menyampaikan kewenangan-kewenangan yang dikuasakannya kepada penerima kuasa itu. Selanjutnya peristiwa pemberian kuasa itu dicatat dalam BAP.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut di muka, karena dengan cara ini berarti pemberian kuasa dilakukan pada saat perkara telah didaftarkan/ surat gugatan telah terdaftar, sehingga mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara, objek perkara, dan di pengadilan mana perkara diajukan, telah jelas sebagaimana yang dimaksud dalam perkara yang bersangkutan.
2.  Pemberian Kuasa secara Tertulis.
Pemberian Kuasa secara tertulis ini dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu:
a.  Dengan surat kuasa khusus.
Syarat-syarat Surat Kuasa Khusus ini telah dijelaskan dalam beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI. Di antaranya:
(1)   Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 2 Tahun 1959 tanggal 19 Januari 1959
(2)   Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 5 Tahun 1962 tanggal 30 Juli 1959.
(3)   Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 1 Tahun 1971 tanggal 23 Januari 1971, dan
(4)   Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.
Berdasarkan Semua Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI tersebut di muka, maka Surat Kuasa Khusus pada prinsipnya harus:
-    Memuat dan Memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana telah disebutkan di muka.
-    Di samping syarat-syarat tersebut, oleh karena Surat Kuasa Khusus ini berbentuk akta, maka pembuatannya pun harus memenuhi syarat-syarat suatu akta, yaitu:
(a) Memuat tanggal pembuatan (tanggal pemberian kuasa), dan
(b) Memuat tandatangan, dalam hal ini tandatangan pemberi kuasa (tandatangan penerima kuasa bukanlah syarat sahnya surat kuasa, namun bila tandatangan penerima kuasa dicantumkan, hal itu tidaklah mengurangi keabsahan surat kuasa tersebut).
Tidak disyaratkannya tandatangan penerima kuasa ini karena pemberian kuasa ini bukanlah perjanjian timbal balik (wederkerige overeenkomst) melainkan perbuatan hukum sepihak (eenzaidige overeenkomst) sehingga surat kuasa khusus dapat dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa tanpa persetujuan penerima kuasa. (lihat Pasal 1814 B.W.).
Di samping itu pula, agar jangan sampai pemeriksaan perkara berjalan macet karena berhalangannya penerima kuasa, maka disyaratkan pula agar surat kuasa khusus tersebut :
-      Memuat hak subtitusi
Agar apabila penerima kuasa berhalangan, ia dapat melimpahkan kuasa itu kepada pihak lain.
c.    Dengan mencantumkan dalam surat gugatan.
Yaitu dengan cara: kuasa yang akan mewakili Penggugat dalam proses persidangan, langsung ditunjuk oleh Penggugat dalam surat gugatan yang dibuatnya. Dengan syarat identitas penerima kuasa dan kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada penerima kuasa harus jelas disebutkan dalam surat gugatan itu.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut di muka, karena mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara, objek perkara, dan di pengadilan mana perkara diajukan, telah jelas disebutkan dalam surat gugatan.

B.  BENTUK PEMBERIAN KUASA DITINJAU DARI STATUS PENERIMA KUASA.
Ditinjau dari penerima kuasa, kuasa dibedakan dalam dua bagian, yaitu:
1.  Kuasa Advokat.
     Syarat Kuasa Advokat adalah Penerima kuasa harus berprofesi sebagai advokat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota Advokat dan Berita Acara Sumpah dari KPT.
2.  Kuasa Insidentil
     Syarat Kuasa Insidentil adalah pemberian kuasa tersebut telah mendapat izin dari Ketua Pengadilan dan Ketua Pengadilan hanya memberi izin hanya jika Penerima Kuasa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
-    Penerima Kuasa tidak berprofesi sebagai advokat/pengacara.
-    Penerima Kuasa adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan pemberi kuasa sampai derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan hubungan keluarga yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala Desa. (pengertian ”derajat ketiga” mencakup hubungan garis lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping).
-    Tidak menerima imbalan jasa atau upah.
-    Sepanjang tahun berjalan belum pernah bertindak sebagai kuasa insidentil pada perkara yang lain.
Contoh:

SURAT KUASA KHUSUS
  
No: 03/SKK/IV/2014

Yang bertanda tangan di bawah ini :
  1. ----NAMA-----, umur 35 tahun, beragama islam, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Jl. Terusan Pembangunan Nomor 79, RT. 01 RW. 02 Kelurahan Tarogong Kecamatan Tarogong Kidul Kota Garut, sebagai PENGGUGAT I.
  2.  ----NAMA-----, umur 30 tahun, beragama islam, Pekerjaan Guru (PNS), bertempat tinggal di Jl. Pembangunan Nomor 79, RT. 04 RW. I Kelurahan Sukajaya Kecamatan Tarogong Kidul Kota Garut , sebagai PENGGUGAT II.

Bersama ini memberi kuasa dengan hak substitusi kepada dan selanjutnya memilih tempat kediaman hukum pada kantor kuasanya, yang tersebut dibawah ini :
----NAMA-----, Advokat/Penasehat Hukum berkantor di Perumahan Suci Permai No 79 Kelurahan  Kecamatan Karang Pawitan Garut.
—————————–KHUSUS—————————-
Untuk atas nama Pemberi Kuasa mewakili sebagai PENGGUGAT di Pengadilan Negeri Garut dalam perkara WANPRESTASI melawan ----NAMA---- yang merupakan perusahaan pengembang perumahan dan pertokoan berkedudukan di Wisma Tri Jaya ,Jl. Perumahan Suci Permai No. 9 Garut selaku TERGUGAT I dkk. Untuk itu penerima kuasa :
1.  Di beri hak untuk membuat dan mengajukan gugatan,mendampingi dan memberikan nasihat hukum dalam arti seluas-luasnya tanpa sesuatu yg dikecualikan kepada Pemberi kuasa atas di pengadilan Negeri Garut
2.  Membuat dan menandatangani surat-surat,menghadap sidang pengadilan
3.  Mengajukan jawaban dan menolak jawaban lawan
4.  Mengajukan bukti serta menolak bukti lawan
5.  Mengajukan permohonan dan keberatan
6.  Melakukan pembayaran dan menerima pembayaraan dari tergugat
7.  Mengadakan atau menolak perdamaian
8.  Memohon putusan dan turunan putusan, memohon berkas perkara, memohon agar putusan dapat dijalankan lebih dahulu
Dengan kata lain, kuasa ini diberi hak untuk menggunakan segala upaya hukum,yang diperkenankan oleh Hukum Acara Perdata. menggunakan hak retensi dan hak subtitusi . Demikian surat kuasa ini di buat.

Garut 5 Maret 2014

Penerima Kuasa                                                   Pemberi Kuasa I



 (-----------nama-------------)                                  (--------------nama---------)

Pemberi Kuasa II


                                                                       (------------nama------------)

GUGATAN
Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah  main hakim sendiri (eigenrichting).
Menurut Darwan Prinst, gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.

Ciri-Ciri Gugatan
Perselisihan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa
yang terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak
dan bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai tergugat.

Bentuk Gugatan
-      Lisan
(Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg Tentang gugatan lisan “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan”.(Pasal 120 HIR).
Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi MA tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973 orang yang menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisanRDATA
-      Tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg.
Syarat sahnya  suatu surat gugatan:
  1. Syarat Formal meliputi :
Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
Materai
Tandatangan
  1. Syarat substansial
a. Identitas parapihak meliputi
Nama Lengkap
Umur/tempat dan tanggal lahir
Pekerjaan
Domisili
b. Posita
Adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan yang menjadi dasar pengajuan suatu gugatan perdata.Posita ini secara garis besar terbagi atas 2 bagian yaitu :
(i)    Urian tentang kejadian yang merupakan penjelasan tentang duduknya perkara
(ii) Uraian tentang  hukum yang merupakan penjelasan tentang hubungan hukum sebagai dasar yuridis pengajuan suatu gugatan perdata.
Singkatnya suatu posita harus menguaraikan objek, perkara, fakta-faktanya hukum kualifikasi perbuatan tergugat
c. Petitum/tuntutan
          Adalah apa yang diminta oleh penggugat atau yang diharapkan diputuskan oleh hakim;

1. Pendaftaran surat gugatan
2. Jawaban dari tergugat
3.  Replik  Adalah jawaban balasan atas jawaban tergugat
4.  Duplik adalah jawaban tergugat atas replik penggugat yang intinya membantah dalil-dalil penggugat dalam repliknya serta menguatkan kembal dalil-dalil tergugat dalam jawabannya.
5.  Pembuktian.
Alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas:
  Bukti tulisan
  Bukti dengan saksi-saksi
  Persangkaan-persangkaa
  Pengakuan
  sumpah
6. Kesimpulan  adalah kesimpulan-kesimpulan yang dibuat masing2 pihak  sesudah terjadinya jawab menjawab dan pembuktian sehinga akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan.
7.  Putusan hakim putusan hakim dapat berupa:
  Menerima gugatan
  Menolak gugatan
  Tidak diterimanya gugatan

Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1.    Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
-      Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
-      Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika.
-      Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
-      Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
-      Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
-      Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2.    Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR;
Pasal 132a ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”), mengatur bahwa tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi dalam setiap perkara. Akan tetapi, ternyata pasal tersebut mencantumkan pengecualian, berupa larangan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan konvensi dalam perkara tertentu. Larangan pengajuan gugatan rekonvensi yaitu:
1.    Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan status kualitas.
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri pribadi penggugat, sedangkan dia tengah bertindak sebagai penggugat mewakili kepentingan pemberi kuasa (principal). Contohnya A bertindak sebagai kuasa B mengajukan gugatan kepada C tentang sengketa hak milik tanah. A mempunyai utang kepada C. Dalam peristiwa semacam ini undang-undang melarang atau tidak membenarkan C mengajukan gugatan rekonvensi kepada A mengenai utang tersebut. Sengketa ini harus diajukan oleh C secara tersendiri kepada A melalui prosedur gugatan perdata biasa.
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai syarat materil gugatan rekonvensi, sehingga pada artikel ini akan dibahas mengenai syarat formil gugatan rekonvensi.
Supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya syarat materil, gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan.
Dalam hukum acara perdata gugatan rekonpensi ini dikenal dengan “gugatan balik”. Gugatan rekonvensi dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat. Gugatan rekonvensi dapat diperiksa bersama-sama dengan gugatan konvensi sehingga akan menghemat biaya dan waktu, mempermudah acara pembuktian, dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain.
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pasal 224 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”) juga memberikan definisi atas gugatan rekonvensi. Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.
Syarat materil gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi. Ketentuan Pasal 132 huruf (a) HIR hanya berisi penegasan bahwa:
Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Alasan pencabutan gugatan sangat bervariasi, alasan pencabutan gugatan disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dalil gugatan tidak kuat atau dalil gugatan bertentangan dengan hukum dan sebagainya.
Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Reglement Buiten Govesten (“RBg”) tidak mengatur ketentuan mengenai pencabutan gugatan. Landasan hukum untuk pencabutan gugatan diatur dalam ketentuan Pasal 271 dan Pasal 272 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Pasal 271 Rv mengatur bahwa penggugat dapat mencabut perkaranya tanpa persetujuan tergugat dengan syarat pencabutan tersebut dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawabannya.
Tata cara pencabutan gugatan berpedoman pada ketentuan Pasal 272 Rv. Pasal 272 Rv mengatur beberapa hal mengenai pencabutan gugatan;

CONTOH GUGATAN


Nomor             : 03/SK-J1/2013
Lamp.              : Surat Kuasa
PERIHAL       : Surat Gugatan Wanprestasi

                                                                               Surabaya, 8 Maret 2013

                                                             Kepada Yth,
                                                             Ketua Pengadilan Negeri Malang
                                                              di
                                                                                             Malang

Dengan hormat,
            Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Indah Nur Utami, S.H. ,Advokat, berkantor di Jalan Sunan Ampel No.12Surabaya, Telp : (031)1234567 , berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 3 Maret 2013 ,terlampir ,bertindak untuk dan atas nama Tuan Rahmat Sanjaya, bertempat tinggal di jalan Gubeng Masjid No. 70 Surabaya,dalam hal ini telah memilih tempat kediaman hukum (domisili) di kantor kuasanya tersebut di atas,hendak menandatangani dan memajukan surat gugatan ini,selanjutnya akan disebut Penggugat.
            Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan terhadap :
Direktur PT. Tri Jaya Property yang merupakan perusahaan pengembang perumhan dan pertokoan berkedudukan di Wisma Tri Jaya ,jl. Sedap Malam No. 9-10Malang. selanjutnya akan disebut  Tergugat.
            Adapun mengenai duduk persoalannya adalah sebagai berikut :
      Bahwa pada tanggal 12 November 2012 telah dilakukannya perjanjian pembelian satu unit rumah tipe arjuna beralamat di Batu Raya Regency seharga Rp.800 juta oleh Penggugat kepada Tergugat . Dimana penggugat telah membayar uang muka sebesar Rp.160 juta(20% dari harga pembelian) dan sisanya akan dibayar pada saat penyerahan unit rumah yang dijanjikan oleh PT. Tri Jaya Property yang akan diserahkan sebelum tanggal 15 februari 2013.
            Bahwa dalam perjanjian tersebut,Tergugat telah berjanji untuk menyerahkan satu unit rumah yang dibeli oleh penggugat selambat-lambatnya tanggal 15 Februari 2013.
            Bahwa ternyata sampai batas waktu yang telah ditentukan di atas,Tergugat tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk menyerahkan satu unit rumah kepada Penggugat.
            Bahwa atas kelalaian tergugat tersebut, oleh penggugat telah dilakukan teguran-teguran secara lisan melalui telepon terhadapnya akan tetapi Tergugat tidak mengindahkannya dan beralasan akan segera dilakukannya serah terima.
            Bahwa atas kelalaian tersebut,penggugat menderita kerugian dan wajar penggugat meminta pengembalian uang muka secara penuh sebesar Rp. 160 juta dan meminta pembatalan/penghapusan perjanjian pembelian tersebut karena Tergugat telah wan-prestasi sesuai dengan pasal 1239 BW.
            Bahwa Tergugat menolak untuk membayar pengembalian uang muka secara penuh dan hanya akan mengembalikan sebesar 50% dan setelah dipotong dengan berbagai biaya.dengan dalil karena dalam perjanjian tidak diatur masalah pengembalian uang muka apabila salah satu pihak membatalkan perjanjian tersebut.
            Bahwa penggugat mempunyai sangka yang beralasan terhadap ikikad buruk tergugat untuk mengalihkan,memindahkan atau mengasingkan satu unit rumah tersebut kepada pihak lain. Rumah tersebut bertipe Arjuna beralamat di Batu Raya Regency. Mohon terlabih dahulu agar Pengadilan Negeri Malang Berkenan meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap rumah tersebut sesuai pasal 227 HIR.
            Maka berdasarkan segala apa yang terurai di atas,Penggugat mohon dengan hormat sudilah kiranya Pengadilan Negeri Malang berkenan memeriksa dan memutuskan :

Primair :
1. Mengabulkan keseluruhan gugatan penggugat
2. Menyatakan sah perjanjian jual beli rumah tersebut
3. Menyatakan tergugat telah ingkar janji ( Wanprestasi )
4.Menyatakan pembatalan Perjanjian pembelian satu Unit rumah karena tergugat telah wanprestasi dan sesuai Pasal 1240 BW : Dalam rangka berpiutang berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan. Dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berhutang.
5.Menyatakan tergugat harus mengembalikan Uang muka pembelian satu unit rumah kepada penggugat secara penuh sebesar Rp. 160 juta.sesuai pasal 1243 BW.
6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut diatas sesuai pasal 227 HIR.
7. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu (uitVoerbaar bij voerraad) meskipun ada upaya hukum verzet atau banding.
8. Menghukum tergugat untuk membayar beaya perkara ini.

Apabila Pengadilan Negeri Malang berpendapat lain :

Subsidair :
Dalam peradilan yang baik ,mohon keadilan yang seadil adilnya ( ex aequo et bono ).

SITA JAMINAN

PENGERTIAN DAN TUJUAN SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah tetapiistilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:
a.     Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan [2] (to take into custody the property of a defendant).
b.    Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.
c.     Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alatpembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut.
d.    Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.

Jenis-Jenis Sita Jaminan
Ada banyak jenis sita, namun secara umum dikenal dua jenis:
a.    Sita terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)
Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitor. Kata conservatoir sendiri berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.
Perihal sita conservatoir beslag ini diatur dalam pasal 227 (1) HIR, intisari dari ketentuannya adalah sebagai berikut:
1)    Harus ada sangkaaan yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya;
2)    Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat;
3)    Permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan;
4)    Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis;
5)    Sita conservatori dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak.
Sehubungan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1) HIR, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa conservatoir beslag yang diadakan bukan atas alasan-alasan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud adalah tidak dibenarkan.
b.    Sita terhadap harta benda milik penggugat sendiri
Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain (termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sita revindicatoir (Pasal 226 HIR / 260 RBg) dan sita marital (Pasal 823-823j Rv).Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya).
Pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan sita adalah:
1.  Untuk pemohon sita revindicatoir:
a.  Pemilik benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain;
b.  Pemegang hak reklame;
2.  Untuk pemohon sita conservatoir adalah kreditor;
3.  Untuk pemohon sita marital adalah istri.
          Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for costs) lebih sering diminta oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan. Di Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara.
Sesuai dengan Pasal 226 HIR/260 RBg, untuk mengajukan permohonan sitarevindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan.
Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR / 261 RBg, elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut.

Objek Yang Dapat Diletakkan Sita Jaminan
Objek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sitarevindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2) HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.
Sedangkan pada sita conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah:
1.  barang bergerak milik debitur
2.  barang tetap milik debitur, dan
3.  barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga).
Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Penyitaan juga dilakukan terlebih dulu atas benda-bergerak, dan baru diteruskan ke benda-benda tidak bergerak, jika menurut perkiraan nilai benda-benda tersebut tidak akan mencukupi.
RV masih mengenal beberapa sita conservatoir lainnya yaitu:
a.  Sita conservatoir terhadap Kreditor
     Ada kemungkinannya bahwa Debitor mempunyai piutang kepada Kreditor. Jadi ada hubungan utang piutang timbal balik antara Kreditor dan Debitor. Dalam hubungan hutang timbal balik antara Debitor dan Kreditor ini, dimana Kreditor sekaligus juga Debitor dan Debitor sekaligus juga Kreditor, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompesasi, misalnya apabila tuntutan piutang Kreditor sudah dapat ditagih dari Debitor, sedang piutang Debitor belum dapat ditagih dari Kreditor atau apabila Kreditor mempunyai tagihan dalam bentuk uang sedangkan Debitor tagihannya berupa barang. Dalam hal ini maka Kreditor yang mengajukan gugatan dapat mengajukan permohonan sita conservatoir terhadap dirinya sendiri. Pada hakikatnya sita conservatoir ini tidak lain adalah sita conservatoir atas barang-barang yang ada di tangan pihak ketiga, hanya dalam hal ini pihak ketiga itu adalah Kreditor itu sendiri.
b.  Sita gadai
     Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanya dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 KUHPerdata.
c.  Sita conservatoir atas barang-barang Debitor yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia
Rasio dari sita conservatoir ini ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negeri.
d.    Sita conservatoir atas pesawat terbang
Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik Debitor menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang bersifat perorangan, dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian dapat disita. Akan tetapi tentang hal ini ada pengecualiannya. Ada bagian-bagian dari harta kekayaaan yang tidak dapat disita dan ada yang dibebaskan dari penyitaan. Yang tidak dapat disita terutama adalah hak-hak perorangan. Hak untuk mendapat ganti kerugian dalam hubungan perburuhanpun tidak boleh disita untuk menjalankan putusan hakim.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi “ Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
a.  Uang atau surat berharga milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga.
b.  Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada Negara/Daerah
c.  Barang bergerak milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga
d.  Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan

Macam-Macam Sita Dalam Hukum Perdata

Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslag)
Revindicatoir memiliki asal kata Revindiceer yang berarti mendapatkan. Sedangkan Beslag berarti Penyitaan (belanda). Sehingga Revindicatoir Beslag berarti penyitaan untuk mendapatkan hak kembali. Ketentuan terkait dengan sita revindikasi ini terdapat dalam KUHPerdata HIR, RBG, maupun RV.
HIR mengatur tentang sita revidikasi dalam Pasal 226 yang berbunyi:
1.    Pemilik barang bergerak, boleh meminta dengan surat atau dengan bantuan kepadaketua pengadilan negeri yang berkuasa di tempat diam atau tempat tinggal orang yang memegang barang itu supaya barang itu disita.
2.    Barang yang hendak disita itu harus diterangkan dengan jelas dalam permintaan itu.
3.    Jika permintaan itu diluluskan, maka penyitaan akan dilakukan menurut surat perintah ketua. Tentang orang yang harus melakukan penyitaan itu dan tentang persyaratan yang harus dipenuhi, berlaku juga pasal 197.
4.    Panitera pengadilan harus segera memberitahukan penyitaan itu kepada orang yang mengajukan permintaan, dan menerangkan kepadanya, bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan meneguhkan gugatannya.
5.    Orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil atas perintah ketua untuk menghadap persidangan itu.
6.    Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan dijalankan dengan cara biasa. (TR. 130 dst., 139 dst., 155 dst., 163 dst., 178 dst.).
7.    Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan, lalu diperintahkan supaya barang yang disita itu diserahkan kepada si penggugat; sedang kalau gugatan itu ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
Sementara itu, dalam RBG ketentuan tentang sita revidikasi terdapat dalam Pasal 260 yang berbunyi:
Seorang pemilik suatu barang bergerak dapat memohon kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan orang yang memegang/menguasai barang itu, dengan cara tertulis atau lisan, agar dilakukan penyitaan atas barang yang dikuasai itu.”
1.    Barang yang harus disita harus diterangkan dengan teliti dalam permohonannya itu.
2.    Jika penyitaan dikabulkan, maka penyitaan dilakukan dengan perintah tertulis dari ketua, ditetapkan pula siapa yang harus melakukan penyitaan serta tata cara yang harus diturut dengan mengikuti apa yang diatur dalam pasal 208-212.
3.    Penyitaan yang telah dilakukan segera diberitahukan oleh panitera kepada pemohon sita dengan diberitahukan pula, bahwa ia harus hadir pada hari persidangan yang akan datang agar mengajukan dan menguatkan tuntutannya.
4.    Orang, yang barangnya disita, diperintahkan juga untuk hadir pada persidangan itu.
5.    Pada hari yang sudah ditentukan, maka persidangan dilakukan dengan cara yang biasa dan diputus tentang hal itu.
6.    Jika gugatan dikabulkan, maka sitaan dinyatakan sah dan  berharga dan diperintahkan agar barang yang disita diserahkan kepada penggugat, sedangkan jika gugatan ditolak, maka diperintahkan agar sita diangkat. (Rv. 714 dst.; IR. 226).
Yang harus menjadi perhatian inti dalam kedua pasal dan ketentuan di atas yakni:
1.    Pemohon sita revindikasi adalah pemilik barang.
2.    Harus merupakan barang bergerak. Jika dikaitkan dengan Pasal 1977 KUHPerdata yang menganut doktrin bezit geld als volkomen title yang berarti penguasaan atas barang bergerak dianggap sebagai bukti pemilikan yang sempurna atas barang itu,[2] maka adanya hak penggugat untuk memohon sita revindikasi dalam hal ini menjadi sangat penting.
3.    Barang yang akan dimohonkan sita revindikasi tersebut harus diterangkan dengan jelas. Hal ini tentu bertujuan guna memberi kepastian barang tersebut dan memudahkan dalam proses penyitaan jika dikabulkan.
RV juga mengatur terkait dengan sita revindikasi ini dalam Pasal 714  yang menyatakan “(s.d.u. dg. S. 1908-522.) Barangsiapa mempunyai hak menuntut kembali atau hak reklame atas barang bergerak dapat menyitanya. (KUHPerd. 509 dst., 574, 582 dst., 1145, 1702, 1741, 1977; KUHD 230 dst., 240, 555; Rv. 763h dst., 924, 971; IR. 226; RBg. 260.)”

Sementara itu di dalam KUHPerdata memuat beberapa ketentuan yang terkait dengan tindakan-tindakan yang dapat di ajukan permohonan sita revindikasi misalnya dalam hal pinjam barang (lihat Pasal 1751 KUHPerdata), atau berdasarkan hak reklame (Reclamerecht) seperti yang telah ditegaskan di dalam Pasal 714 RV di atas (lihat Pasal 1145 KUHPerdata).

Sita Jaminan (Conversatoir Beslag)
Terhadap sita jaminan, diatur dalam Pasal 227 HIR, yang mana bunyi Pasal 227 (1) HIR ialah:
“Jika ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang debitur, sebelum keputusan hakim yang mengalahkannya dijatuhkan atau boleh dijalankan, mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak; dengan maksud untuk menjauhkan barang itu dari kreditur atas surat permintaan orang yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memerlukan permintaan itu; kepada si peminta harus diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya. (Rv. 720 dst.; IR. 124 dst., 1 163 dst.)”
Dan di dalam RBG diatur pada Pasal 261, yang mana dalam ayat satu dikatakan:
“Bila ada dugaan yang berdasar, bahwa seorang debitur yang belum diputus perkaranya atau yang telah diputus kalah perkaranya tetapi betum dapat dilaksanakan, berusaha untuk menggelapkan atau memindahkan barang-barang bergeraknya atau yang tetap, agar dapat dihindarkan jatuh ke tangan kreditur, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, ketua pengadilan negeri atau jika debitur bertempat tinggal atau berdiam di luar wilayah jaksa di tempat kedudukan pengadilan negeri atau jika ketua pengadilan negeri tidak ada di tempat tersebut, jaksa di tempat tinggal atau tempat kediaman debitur dapat memerintahkan penyitaan barang-barang tersebut agar dapat menjamin hak si pemohon, dan sekaligus memberitahukan padanya supaya menghadap di pengadilan negeri pada suatu hari yang ditentukan untuk mengajukan gugatannya serta menguatkannya. (Rv. 720 dst.)”
Beberapa ketentuan terkait dengan unsur-unsur yang perlu diperhatikan dari kedua pasal di atas ialah:
1.    Adanya dugaan yang beralasan dari pihak yang memohon sita jaminan tentang adanya kemungkinan debitur mengalihkan atau menggelapkan hartanya.
2.    Permintaan sita jaminan diajukan terhadap seorang debitur.
3.    Permohonan sita jaminan diajukan sebelum dijatuhkannya putusan hakin, atau meskipun putusan hakin sudah ada namun putusan tersebut belum dapat dilaksanakan maka masih dapat diajukan permohonan sita jaminan.
4.    Obejek sita jaminan adalah barang-barang bergerak dan tidak bergerak.
5.    Objek sita jaminan merupakan milik dari debitur (ini yang menjadi perbedaan mendasar dengan sita revindikasi.
6.    Tujuan dari sita jaminan adalah untuk menjamin hak-hak pemohon, jika nantinya hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan pemohon.
Sederhananya, bahwa jika penggugat membuat gugatan dengan meminta ganti rugi, uang paksa, atau bentuk kompensasi lainnya, maka untuk memastikan permintaannya tersebut tidak hanya menang di atas kertas saja sehingga perlu untuk meminta sita jaminan. Artinya jika permohonan penggugat dalam gugatan dikabulkan oleh majelis hakim, dan ternyata selama proses peradilan berlangsung tergugat telah memindahkan atau menggelapkan harta kekayaan miliknya, maka ketika akan melaksanakan eksekusi putusan, tidak ada lagi yang bisa diambil atau tidak ada lagi yang dapat digunakan oleh tergugat yang kalah untuk memenuhi isi putusan tersebut. Sehingga sangat penting untuk meminta adanya Sita Jaminan (Conversatoir Beslag) dalam mengajukan gugatan.

Sita Harta Bersama (Marital Beslag)
Sita harta bersama merupakan bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami-istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Aturan terkait dengan sita harta bersama terdapat dalam KUHPerdata, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan RV.
KUHPerdata mengatur tentang sita harta bersama dalam Pasal 190 yang berbunyi “Selama penyidangan, isteri boleh melakukan tindakan-tindakan, dengan seizin Hakim, untuk menjaga agar barang-barangnya tidak hilang atau diboroskan si suami.”
UU No. 7 Tahun 1989 mengatur tentang sita harta bersama dalam Pasal 78 yang menyatakan:
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
a)    menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b)    menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c)     menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”.
PP No. 9 Tahun 1975, mengatur tentang pembagian harta bersama dalam Pasal 24 (2):
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :
a.  Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.  Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c.  Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri”.

Sita Eksekusi (Executorial Beslag)
Hal ini terkait dengan proses eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan terkait dengan sita eksekusi ini diatur dalam Pasal 197 HIR yang mana ketentuan dalam ayat satu menyatakan:
“Jika sudah lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang kalah itu belum juga memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu, sesudah dipanggil dengan sah, tidak juga menghadap, maka ketua, karena jabatannya, akan memberi perintah dengan surat, supaya disita sekian barang bergerak dan jika yang demikian tidak ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu”.
Selain itu RBG mengatur tentang sita eksekusi dalam Pasal 208 yang menyatakan:
“Bila setelah lampau tenggang waktu yang telah ditentukan, putusan hakim tidak dilaksanakan atau pihak yang kalah tidak datang menghadap setelah dipanggil, maka ketua atau jaksa yang diberi kuasa karena jahatannya mengeluarkan perintah untuk menyita jumlah barang-barang bergerak dan, jika jumlahnya diperkirakan tidak akan mencukupi, juga sejumlah barang-barang tetap milik pihak yang kalah sebanyak diperkirakan akan mencukupi untuk membayar jumlah uang sebagai pelaksanaan putusan, dengan batasan bahwa di daerah Bengkulu, sumatera Barat dan Tapanuli, hanya dapat dilakukan penyitaan atas harta (harta pusaka) jika tidak terdapat cukup kekayaan dari harta pencarian baik yang berupa barang bergerak maupun barang tetap. (Rv. 444; IR. 1971.)”.
Sita eksekusi ini dapat juga menjadi kelanjutan dari sita jaminan. Maksudnya ialah, jika telah dinyatakan sita jaminan  terhadap harta tergugat, maka setelah putusan itu berkekuatan hukum tetap otomatis sita jaminan berubah menjadi sita eksekusi guna melakukan proses eksekusi. Namun jika tidak dinyatakan sita jaminan sebelumnya, dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka pertama-tama pihak yang kalah akan diminta untuk melaksanakan isi putusan dengan sukarela, namun jika tidak dilaksanakan dengan sukarela maka ditetapkanlah sita eksekusi terhadap harta milik pihak yang kalah, tentunya dengan mengacu kepada ketentuan perundang-undangan dan peraturan terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar